Lokakarya Kepenulisan--Menenun Kata, Merajut Harapan

Jumat (31 Oktober 2025), Komunitas Literasi Tanpa Batas (Lintas) sukses menggelar lokakarya kepenulisan bertajuk “Menulis Merawat Jiwa: Sastra sebagai Media Pencegahan dan Pemulihan”. Kali ini Komunitas Lintas berkolaborasi dengan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Kolaborasi itu terwujud melalui kehadiran Prof. Dr. Yulianeta, M.Pd. atau akrab disapa Bu Neta, sebagai pemateri dalam kegiatan ini.

 

Kegiatan yang berlangsung secara daring ini dihadiri puluhan peserta yang terdiri atas mayoritas penyandang disabilitas netra. Mereka dengan sangat antusias menyimak materi dan berinteraksi dengan Bu Neta dalam sesi diskusi. Bahkan saat sesi praktik menulis, para peserta berlomba-lomba menuliskan puisi di kolom obrolan Zoom. Tidak hanya menulis, ada juga yang sigap membacakan sendiri karyanya. Kebersamaan yang tulus juga tampak dari kesediaan peserta untuk membantu membacakan karya peserta lain yang memiliki hambatan tertentu. Sungguh merupakan sinergitas yang apik.

 

Ppemutaran dua komposisi musikalisasi puisi (Kepada Noor karya Syarif Hidayat yang dilantunkan Panji Sakti dan Pada Suatu Hari Nanti karya Sapardi Djoko Damono yang dilantunkan Ari Malibu dan Reda Gaudiamo) mengawali pemaparan materi yang bertajuk “Menulis sebagai Terapi dan Ruang Aman untuk Ekspresi Diri”. Melalui materi ini, Bu Neta mengajak para peserta untuk belajar memahami sastra sebagai salah satu bentuk terapi. “Hari ini kita akan belajar menenun kata dan merajut harapan,” ungkap Bu Neta. “Dengan mendengarkan seperti tadi--atau nanti kita akan latihan menulis sederhana--itu sebetulnya merupakan upaya pemulihan diri kita,” lanjutnya.

 

 

Mengutip hasil penelitian dalam Journal of Counseling & Development, Bu Neta mengemukakan bahwa terapi dengan menulis atau membaca sastra juga merupakan bagian dari bibliotherapy; metode terapi ini menggunakan buku untuk membantu seseorang memecahkan masalah kehidupannya. Yang belum banyak dipahami sebagian orang adalah bahwa proses menulis juga merupakan salah satu teknik klinis pengobatan. “Terkadang untuk mengobati diri kita, cukup dengan mengeluarkan energi, kata-kata ... itu bisa menjadi obat bagi kita. Itu adalah intervensi untuk mendorong pertumbuhan emosional dan penyembuhan,” jelas Bu Neta. Oleh karenanya, dalam dunia kesehatan mental, para psikolog atau psikiater terkadang menyarankan pasien untuk mencoba metode journaling atau menulis. Jenis tulisannya dapat bervariasi, antara lain, puisi, cerpen, novel, esai, narrative writing, dan expressive writing.

 

Dalam buku berjudul The Healing Power of Expressing Emotion, yang juga sempat dikutip oleh Bu Neta, Pennebaker menyebutkan bahwa menulis memungkinkan seseorang untuk menyusun ulang makna dari pengalaman yang tidak menyenangkan.

“Kadang-kadang saat kita sedih sesedih-sedihnya, misalnya lagi patah hati ... biasanya kita mampu menulis puisi berlembar-lembar. begitu pula sebaliknya, ketika misalnya sedang jatuh cinta, kita ingin menuliskan semuanya,” tambahnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menulis dalam konteks sastra adalah bentuk bibliotherapy ekspresif. “Ada juga bibliotherapy reseptif, yaitu yang sudah kita lakukan tadi ketika mendengarkan musikalisasi puisi,” sambung Bu Neta. Dengan demikian, ada dua metode sastra therapy: ekspresif dengan menulis, dan reseptif dengan membaca atau mendengarkan.

 

 

Dalam konteks creative writing, menulis bukan semata-mata soal estetika. Lebih dari itu, Bu Neta menjelaskan bahwa menulis merupakan jalan untuk menyapa pengalaman yang kadang sulit diungkapkan dengan lisan. “Kalau kita gak bisa ngomong ... sesak di dada, itu bisa kita keluarkan dalam wujud tulisan, dalam wujud kata-kata.” Selain itu, menulis juga mengajari individu untuk memahami diri dengan lebih jujur dan utuh, termasuk bagaimana agar dapat menemukan ketenangan atau makna baru dari pengalaman hidup. Hal ini senada dengan hasil penelitian oleh seorang psikolog yang dirujuk oleh Bu Neta. Penelitian itu mengatakan bahwa menuliskan pengalaman emosional dapat menurunkan tingkat stres. “Menulis itu sebuah ruang aman bagi Teman-Teman. Karena tempat dan relasi yang tidak menghakimi, tidak menyakiti ... itulah yang disebut dengan ruang aman,” tutur Bu Neta.

 

Tak hanya bermanfaat dalam ranah individu, sastra therapy juga dapat diterapkan untuk penyembuhan kolektif. Sebab itu metode terapi ini seringkali diaplikasikan di lembaga pendidikan ataupun komunitas. “Makanya saya berterima kasih ...  saya menyambut ajakan luar biasa dari Teh Iin karena saya ingin ini menjadi ruang belajar kita bersama. Ketika saya berbagi dengan Teman-Teman, kita belajar bersama, itu pun sebenarnya kita sedang melakukan penyembuhan kolektif,” tambahnya.

 

Secara garis besar, sastra therapy memiliki sejumlah manfaat, yaitu:

·         Menjadi saluran aman untuk mengungkapkan emosi.

·         Membantu mengelola stres dan kecemasan.

·         Membangun harga diri dan melawan stigma, khususnya bagi penyandang disabilitas, termasuk disabilitas mental.

·         Dapat diterapkan dalam konteks psikologis, pendidikan, komunitas, dan pribadi.

 

Manfaat ini benar-benar dirasakan oleh para peserta. Sejumlah di antaranya bahkan telah menuliskan testimoni.

                “Perasaan saya sebagai peserta sekaligus pewara dalam dua sesi pelatihan menulis yang bertujuan untuk merawat Kesehatan mental ini Adalah sangat senang ; karena saya merupakan seorang penyintas yang kadang butuh suara lebih banyak agar rasa sakit yang seringnya “tidak kelihatan” ini lebih terdengar – bukan untuk validasi, bukan untuk mendulang rasa kasihan, tapi untuk sedikit kesadaran bahwa trauma dan luka batin itu bukan hanya cerita legenda, tapi beneran ada dan nyata.

                Harapannya ke depan, semoga Komunitas Lintas dapat lebih banyak bersenergi dengan banyak hal positif di sekitar, dan maju terus, terima kasih.” Demikian ungkapan Zelda Maharani, peserta sekaligus pewara dari kalangan mahasiswa disabilitas netra, yang saat ini berdomisili di Surabaya.

Walid Muhammad Taufik, peserta nondisabilitas asal Purwakarta juga sempat memberikan testimoninya. “Sastra memang menjangkau luas ke setiap hati insan, termasuk kepada mereka yang ‘istimewa’. Menulis dan mengapresiasinya menjadi jembatan penyembuhan bagi yang membutuhkan. Hemat saya, kegiatan baik seperti ini harus terus dilanjutkan,” tulisnya melalui pesan Whatsapp.

 

 

Di akhir sesi materi, Bu Neta menyampaikan sejumlah saran dan harapannya. Pertama, agar peserta menyisihkan waktu, meski tidak banyak, untuk menulis secara rutin. “Kalau ingin membagikannya, sekarang sudah banyak sekali sarana yang bisa digunakan untuk membagikan tulisan kita.” Dia juga menyemangati para peserta untuk tidak perlu ragu menulis. “Tulis saja, tidak perlu terlalu banyak berpikir. Ingat saja bahwa menulis itu menyembuhkan, menulis itu menguatkan, menulis itu melapangkan, menulis itu membahagiakan pada akhirnya karena orang lain pun bisa menikmati apa yang kita rasakan. Semua yang berangkat dari hati akan kembali ke hati.”

 

“Teruslah menulis,” lanjut Bu Neta, “karena dari menulis kita bisa pulih, kita bisa kuat, kita bisa didengar dan mendengar. Mari kita izinkan kata-kata itu menjadi jembatan bagi kita dan biarlah kita menulis bukan sekadar untuk keindahan, melainkan untuk keseimbangan kita demi harapan yang perlahan mulai menyala, menjadi pelita. Mungkin pelita itu untuk diri kita, tapi kalau nyalanya kita sebarkan, akan bermanfaat bagi orang lain juga.”

 

“Harapan saya, kegiatan malam ini menjadi awal dari proses pemulihan. Mungkin tidak cepat, kita juga tidak perlu tergesa-gesa. Proses itu mungkin pelan, tapi penuh dengan keberanian kita,” pungkas Bu Neta.

 

 

 

Pada kesempatan yang sama, Ketua Komunitas Lintas saat ini, Iin Saputri, mengungkapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah menyukseskan kegiatan lokakarya kepenulisan dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia sepanjang Oktober ini. Sebagaimana diketahui, kegiatan serupa telah dilaksanakan pada 10 Oktober 2025 dengan pemateri berbeda, yakni Prof. Dr. Anas Ahmadi, S.Pd., M.Pd. dari Fakultas Bahasa dan Seni Unesa. “Merupakan kebanggaan dan kehormatan besar buat Komunitas Lintas untuk bisa berkolaborasi dengan para akademisi mumpuni seperti Bu Neta dan sebelumnya Prof. Anas,” ujar Kak Iin dalam sambutannya. “Sastra memang bukan sekadar kata tanpa makna, melainkan akan sangat berkhasiat bagi yang bisa memahami dan memaknainya. Semoga kolaborasi ini tetap bisa kita lanjutkan dan makin solid ke depannya,” imbuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peluncuran+Bedah Buku Lemari Kisah Kami, Ruang Inklusif Berbagi Perspektif, Kreativitas, dan Pemikiran Kritis

Pembusukan Otak Via Anomali

Narasikan Hatimu, Tulis Puisimu!