Pejuang Penuh Kontroversi dengan Senjata Sastrawi

“kriteria satu-satunya bagi seorang sastrawan adalah hati nuraninya sendiri. Kebebasan harus digugat untuk mengembalikan hak dan harkatnya sebagai manusia yang merdeka.” Demikian ungkapan Mochtar Lubis, sastrawan sekaligus jurnalis dan aktivis terkemuka angkatan 1960-an ketika diwawancarai oleh majalah Horison pada 1989. Prinsip ini pernah dituangkan dalam salah satu cerpennya yang berjudul “Bromocorah”, yang dimuat dalam majalah Horison, No. 7, tahun 1982.

 

Penulis yang berkali-kali dipenjara, baik oleh pemerintah Orde Lama maupun Orde Baru ini, berjuang dengan caranya sendiri, yang bisa dikatakan cukup menarik sekaligus berbahaya saat itu. Alih-alih mengecam bangsa penjajah, dia lebih berfokus pada menuliskan kebejadan-kebejadan pemimpin bangsa sendiri, yang dianggapnya sebagai sumber keresahan. Dalam buku          ANTOLOGI: BIOGRAFI TIGA PULUH PENGARANG SASTRA INDONESIA MODERN karya                  Atisah, Widodo Djati, & Nur Hayati (2002), tercatat bahwa Mochtar Lubis seringkali mengkritik para pejuang kemerdekaan yang, ketika Indonesia telah merdeka, malah melupakan amanat perjuangan mereka. Kritikan-kritikan seperti inilah yang mengakibatkan Mochtar acapkali keluar-masuk tahanan.

 

 

Meski dalam tahanan, Mochtar tetap produktif menulis, menghasilkan sejumlah novel, cerita pendek, cerita anak-anak, puisi, catatan harian, dan

sketsa biografi. Beberapa karya yang dia tulis semasa dalam penjara adalah Senja di Jakarta, Tanah Gersang, Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta. Tak hanya dari dalam negeri, karya dan kiprahnya pun diakui oleh dunia internasional melalui berbagai penghargaan.

 

Tahun 1958 ketika masih dalam tahanan, ia mendapat penghargaan Magsaysay Journalism and Literature Award dari Manila. Penghargaan itu baru diterimanya

di Filipina delapan tahun kemudian setelah ia dibebaskan dari tahanan. Penghargaan lain dari luar negeri adalah Pena Emas untuk kemerdekaan pers dari Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional di Perancis. Penghargaan yang diterimanya di tingkat nasional antara lain:

Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk novel Jalan Tak Ada Ujung; Hadiah dari majalah Kisah untuk cerpen Musim Gugur; Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia untuk peliputan perang di Korea; Hadiah Sastra BMKN untuk kumpulan cerpen Perempuan (1955—1956); Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk novel Harimau! Harimau!; Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya untuk novel Maut dan Cinta; Penghargaan Anugerah Sastra Chairil Anwar dari Dewan Kesenian Jakarta; dan Penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari Pemerintah RI.

 

Salah satu novelnya yang cukup fenomenal berjudul Maut dan Cinta membahas persoalan kepemimpinan negeri di Indonesia yang berlangsung pada masa revolusi. Novel tersebut menyajikan dua tokoh revolusi dan pejuang kemerdekaan dengan watak yang berlawanan yaitu Sadeli dan Umar Junus. Sadeli aktif di dalam negeri, sedangkan Umar Junus aktif di luar negeri. Umar Junus dikisahkan sebagai sosok yang suka menggunakan dana revolusi untuk bermain wanita sehingga menyeleweng dari asas revolusi. Sementara itu, Sadeli hadir sebagai tokoh yang melawan penyelewengan tersebut.

 

Novel lainnya yang populer, Harimau! Harimau!, yang diterbitkan pada tahun 1975, merupakan novel yang sangat berpengaruh. Novel ini menceritakan kisah petualangan sekelompok penambang di hutan Sumatra yang harus berhadapan dengan seekor harimau. Melalui novel ini, Mochtar Lubis tidak hanya menyuguhkan cerita yang menegangkan tetapi juga menggambarkan kondisi sosial dan perilaku manusia yang penuh intrik. Novel ini berhasil menarik perhatian banyak pembaca dan mendapatkan berbagai penghargaan.

 

 

Kkontroversi Mochtar Lubis tidak hanya dinarasikannya dalam karya fiksi seperti novel dan cerpen. Lewat buku berisi esai berjudul Manusia Indonesia, yang diterbitkan pada tahun 1977, Mochtar Lubis memancing polemik. Dalam buku ini, Mochtar Lubis mengkritik sifat-sifat negatif manusia Indonesia yang menurutnya menjadi penghambat kemajuan bangsa. Karakter itu ialah: munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, bersikap dan berperilaku feodal, percaya takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah watak atau karakter. Keenam sifat ini sudah sempat disampaikannya pada pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu sebelumnya.

 

Selain yang telah disebutkan, masih banyak karya Mochtar Lubis yang tercatat dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia. Berikut di antaranya:

 1. Kuli Kontrak (kumpulan 18 cerpen);

2. Bromocorah (kumpulan 12 cerpen);

3. Naskah drama, Pangeran Wiraguna;

4. Kumpulan puisi, Catatan dari Camp Nirbaya;

5. Cerita anak, Harta Karun dan Bajak Laut;

 6. Cerita anak, Sinbad Pelaut Bagdad;

7. saduran kisah Seribu Satu Malam, Kisah Judar Bersaudara;

8. Cerita terjemahan, Dua Belas Puteri yang Menari;

 9. Si Jamal (kumpulan 12 cerpen);

10. Novel Penyamun dalam Rimba;

11. Penceritaan kembali, Pemburu Muda;

12. Penceritaan kembali, Tiga Bersaudara;

13. Novel Berkelana dalam Rimba;

 14. Teknik Mengarang;

15. Teknik Mengarang Skenario Film

16. Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban;

17. Bangsa Indonesia (Masa Lampau-Masa Kini-Masa Depan);

18. Catatan Subversif;

19. Transformasi Budaya untuk Masa Depan;

20. Sastra dan Tekniknya.

 

Laman Wikipedia yang mengutip pernyataan A. Teeuw (pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda) menyebutkan bahwa kekhasan karya-karya Mochtar Lubis ialah banyaknya unsur humor di dalamnya. Karya Mochtar Lubis hampir sama dengan karya Somerset Maugham. Persamaannya terletak pada struktur cerita, tekanan, dan putaran yang tak disangka-sangka. Kadang-kadang pembaca merasa geli apabila membaca cerita-cerita

pendek Mochtar Lubis. Kekhasan yang lain dalam karya-karyanya terletak pada latar cerita, yaitu berlatar revolusi, seperti dalam karyanya yang berjudul

Jalan Tak Ada Ujung, Tidak Ada Esok, serta Maut dan Cinta.

 

Dalam artikel yang ditulis Yus Ariyanto pada laman Tirto.id (7 Maret, 2022), dikisahkan bahwa Mochtar sempat diminta oleh sejumlah temannya melunakkan gaya menulis, berputar alias tidak langsung, dan menggunakan sindiran. Tapi ia menolak karena justru bakal mengukuhkan feodalisme kekuasaan.

Salah seorang pendiri majalah sastra Horison ini tak habis pikir mengapa tulisan-tulisannya harus berujung pada penjara. Ia merasa tulisan dan kritiknya sejalan dengan cita-cita Orde Baru yang kerap disampaikan Soeharto.

 

 

Beberapa waktu lalu, salah satu konten pada kanal Youtube Lintas membahas sepuluh novel Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Rupanya, novel Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis adalah novel Indonesia pertama yang diterjemahkan ke bahasa asing, yakni bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta. Dilansir dari laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2019),

isi novel itu terdiri atas 8 bagian. Kedelapan bagian itu memuat laporan kota yang dimulai bulan Mei hingga Desember. Sebagai laporan kota, setiap bagian menampilkan berita kehidupan yang berlangsung di Jakarta. Pada akhir cerita tercantum titimangsa, Jakarta, 7 Maret 1957. Ide ceritanya adalah mengangkat kehidupan sosial politik ibukota pada tahun 1950-an. Suryono, pegawai Kementerian Luar Negeri, baru pulang dari tugasnya di Amerika. Suryono merasa tidak nyaman dan merasa asing di negerinya sendiri. Raden Kaslan, ayahnya, menyuruhnya untuk keluar dari dinas kementrian itu untuk menekuni bisnis ayahnya. Ajakan ayahnya itu diterimanya dan ia langsung terjun dalam dunia bisnis. Ayahnya adalah pengusaha sukses yang menjadi aktivis partai. Bisnisnya itu sendiri dilindungi oleh partai dan sekaligus juga memberikan keuntungan kepada partai. Raden Kaslan sekeluarga membuka jalinan bisnis dalam bentuk perusahaan fiktif yang menangani lisensi impor barang kebutuhan pokok rakyat yang semuanya dikendalikan oleh keluarga.

 

Suryono menjadi kaya raya dan dikenal sebagai playboy. Ia berselingkuh dengan ibu tirinya yang bernama Fatma, menjalin asmara dengan pelacur kelas atas bernama Dahlia, sambil terus mengejar teman berdiskusinya yang bernama Isye. Namun, gadis yang disebut terakhir ragu-ragu menerima Suryono.

 

Keadaan Indonesia dalam novel Senja di Jakarta digambarkan sebagai negara yang korup. Orang kaya makin kaya dan orang miskin makin melarat. Idris, pegawai negeri yang jujur, tersungkur dalam kehidupan yang morat-marit karena tidak ikut terbawa arus. Istrinya, Dahlia, menyeleweng dengan Suryono.

 

Sementara itu, Sugeng, pegawai Kementerian Perekonomian, tidak tahan oleh tuntutan istrinya, Hasnah, untuk hidup enak dan ia terbawa arus zaman. Ia ikut ambil bagian dalam bisnis Raden Kaslan sesuai dengan jabatannya.

 

Ketika Raden Kaslan dan kawan-kawannya mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan korupsi, kaum intelektual berdiskusi berdebat membela ideologi masing-masing, di saat yang sama, rakyat jelata yang diwakili oleh Saimun, Itam, Pak Ijo (kusir tua) dan istrinya Neneng hidup dalam kemelaratan. Gambaran kehidupan masyarakat Jakarta yang timpang dari segi sosial ekonomi tampil begitu tegas dalam novel ini.

 

Surat kabar oposisi membongkar kecurangan partai yang sedang berkuasa. Mula-mula Halim, sang wartawan, membela partai pemerintah, tetapi setelah partai yang berkuasa melemah, Halim berbalik menyerang partai yang semula dibelanya itu. Terbongkarnya bisnis lisensi impor yang melibatkan partai yang berkuasa, menyebabkan Raden Kaslan dipanggil polisi, dan Sugeng ditangkap di rumahnya. Suryono bersama ibu tiri selingkuhannya bermaksud kabur, tetapi mengalami kecelakaan di kawasan Puncak.

 

 

 

 

Biografi singkat Mochtar Lubis

 

 

Mochtar Lubis, sastrawan Angkatan 1960-an, dikenal sebagai penulis novel, cerpen, penerjemah, pelukis, dan seorang jurnalis ternama. Dia lahir di Padang,

tanggal 7 Maret 1922 dari keluarga Batak Mandailing dan meninggal dunia di

Jakarta pada tanggal 2 Juli 2004.

Ayahnya bernama Marah Husin, bergelar Raja Pandapotan Lubis, dan bekerja sebagai Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Sementara itu, ibunya bernama Siti Madinah Nasution. Mochtar Lubis adalah anak keenam dari sepuluh bersaudara dari keluarga beragama Islam.

Mochtar Lubis pernah melihat ayahnya memukuli seorang kuli kontrak yang mencoba melarikan diri. Dia tahu bahwa ayahnya tidak tega bertindak seperti itu,

tetapi tugasnya sebagai kepala distrik di wilayah itu harus dijalankan, yaitu menghukum semua kuli kontrak yang melarikan diri. Pengalaman itu oleh Mochtar

Lubis ditulisnya menjadi cerita pendek dengan judul "Kuli Kontrak". Dengan adanya peristiwa itu, ayahnya tidak mengizinkan anak-anaknya bekerja di pemerintahan

Belanda karena ada kalanya tugas yang dibebankan oleh pemerintah Belanda bertentangan dengan hati nuraninya. Ayahnya mengajarkan kedisiplinan dalam hidup. Ibunya mengajarkan agama dan kebenaran untuk tidak berdusta kepada teman ataupun Tuhan. Sejak SD, Mochtar Lubis dan saudara-saudaranya bersekolah di

sekolah kebangsaan.

Dia mengawali pendidikan di HIS Sungai Penuh, Kerinci, Sumatra Tengah (kini masuk ke dalam Provinsi Jambi), tahun 1936. Tahun 1940 ia melanjutkan pendidikannya

ke Jurusan Ekonomi Partikelir yang didirikan oleh SM. Latif di Kayutanam, Sumatra Tengah. Semangat kemerdekaan mulai muncul dalam hati Mochtar Lubis. Ia belajar politik, sosial, dan berhasil dengan baik mempelajari beberapa bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Kepandaiannya berbahasa asing itulah yang kelak membuatnya punya jejaring luas di tingkat internasional. Dia ingin melanjutkan pendidikannya ke

sekolah kedokteran, tetapi sang ayah melarangnya. Selanjutnya, ia belajar secara autodidak.

Setelah selesai di Sekolah Ekonomi Partikelir, Mochtar Lubis kemudian menjadi guru di Pulau Nias.

Ia mengajarkan murid-muridnya semangat nasionalisme, seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengibarkan bendera merah putih.

Ajaran nasionalisme tersebut kemudian membuat Mochtar Lubis kehilangan kariernya sebagai guru.

Lantaran mengajarkan semangat nasionalisme kepada murid-muridnya, Mochtar Lubis terancam dihukum berat oleh pemerintah kolonial Belanda.

Namun, dia berhasil terhindar dari hukuman berat tersebut meski akhirnya dipecat dari sekolah tempatnya mengajar.

Setelah dipecat, Mochtar Lubis kemudian pergi merantau ke Jakarta dengan menumpang kapal dari Padang.

Di Jakarta, Mochtar Lubis tinggal di rumah kakaknya, Bachtiar Lubis. Ia kemudian mulai bekerja sebagai seorang akuntan di sebuah apotek.

Setelah itu, Mochtar Lubis beralih pekerjaan menjadi seorang juru tulis di sebuah bank milik pemerintah Belanda, N.V. Nederlandsche Handel Maatschappij

(N.H.M.).

Setelah Jepang masuk dan menguasai Indonesia, Mochtar Lubis bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio Sekutu di luar negeri pada 1942.

Adapun tugas Mochtar Lubis kala itu adalah mencatat siaran berbahasa Inggris dan dilaporkan ke Gunseikanbu (Kantor Pemerintahan Militer Jepang).

 

 

Mochtar Lubis menikah dengan Siti Halimah Kartawijaya (mantan sekretaris redaksi harian Asia Raya) dari Jawa Barat. Pernikahannya dilaksanakan pada tanggal

2 Juli 1945. Mereka dikaruniai 3 orang anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan, yakni Indrawan Lubis, Arman Lubis, dan Yana Zamin Lubis, serta 8 cucu.

Dia mulai gemar menulis sejak masih duduk di sekolah dasar. Ibunya selalu menceritakan dongeng yang kemudian oleh Mochtar Lubis diceritakannya kembali

kepada teman-temannya di sekolah. Dia kemudian menjadi penulis novel dan cerpen.

Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai wartawan Kantor Berita Antara pada 1945—1952. Saat itu Kantor Berita Antara masih berpusat di Yogjakarta. Dia juga bekerja sebagai karyawan Bank

Factory di Jakarta, guru sekolah dasar di Pulau Nias, anggota tim monitoring radio sekutu untuk kepentingan Gunseikenbu, tentara Jepang pada tahun 1943,

redaktur majalah Masa Indonesia, penulis kolom surat kabar mahasiswa Kami tahun 1975, Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity, di Manila, penulis tajuk

majalah Suara Alam di Jakarta, dan juri Festival Film Indonesia tahun 1981. Setelah Kantor Berita Antara ditutup oleh pemerintah Belanda, ia bekerja sebagai

karyawan di surat kabar Harian Merdeka (1945) dan menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Mutiara (1949—1950). Pada masa itulah Mochtar Lubis menjalin persahabatan dengan Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Usmar Ismail, dan Aoh K. Hadimadja. Tanggal 28 Desember 1949 ia mendirikan surat kabar Harian Indonesia

Raya dan ia sendiri menjadi pemimpin redaksinya pada periode 1949—1961 dan 1968—1974. Di masa pemerintahan Bung Karno, harian ini dianggap sebagai harian

yang paling keras mengritik penguasa dan para pejabatnya, sehingga pemimpin umum dan pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, ditangkap dan dipenjarakan di

Madiun (dari 21 Desember 1956 sampai dengan Mei 1966) bersama Mohamad Roem, Sutan Syahrir, dan beberapa tokoh politik lainnya. Setelah dibebaskan dan aktif

kembali pada masa awal Orde Baru, Indonesia Raya diberangus kembali setelah peristiwa Malari 1974 bersama-sama beberapa media lain dan Mochtar Lubis dipenjara

kembali selama 2,5 bulan.

Jabatan yang pernah disandangnya ialah Wakil Ketua di Akademi Jakarta, Penanggung Jawab majalah sastra Horison, Ketua Penerbit Yayasan Obor Indonesia,

Direktur Jenderal Press Foundition of Asia di Manila, anggota Unesco Mc Bride Commission on Communication and Information di Paris, anggota Internasional

Press Institute (IPI) London, anggota International Science Writers Association (ISWA), anggota Pen Club, anggota Kelompok Pertemuan Sastra Asean, Ketua

Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum (LBH), anggota Monial Pour le Etudes Sur le Future, Wakil Ketua Yayasan Pembinaan Pers Indonesia, dan aktif dalam

kegiatan Yayasan Indonesia Hijau.

 

Mochtar Lubis meninggal dunia pada 2 Juli 2004 di Jakarta pada usia 82 tahun akibat alzheimer. Ia dimakamkan di TPU Jeruk Purut.

 

Meski dengan sederet kontroversi, tidak dapat dimungkiri bahwa Mochtar Lubis adalah salah seorang sastrawan sekaligus jurnalis legendaris Nusantara. Prestasinya bukan sebatas melahirkan penghargaan. Lebih dari itu, ia juga berhasil meletakkan fondasi kesusastraan berpilarkan kejujuran, kelugasan, sekaligus keindahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024