Tak Lagi Sejalan
diterimanya diriku di jurusan impian. Angkringan di depan
kos baruku lumayan ramai, manusia semua lapisan umur berpadu menjadi
satu. Musik pelbagai macam genre diselingi denting sendok
yang beradu dengan piring dan juga gelas memeriahkan malamku.
Namun, kebisingan ini tak mampu mengalihkan hatiku yang
masih terbayang dengan sosoknya, gadis yang setia menemaniku delapan
tahun ini. Satu windu hampir selalu bersama di kelas,
perpus, masjid, dan di mana pun kita bisa bertemu, sayangnya kini takdir sudah
memisahkan, jarak sudah mereduksi keakraban kami. Aku masih
cukup yakin dengan pepatah jawa, ‘tresno jalaran seko kulino’. Entah
apa yang akan terjadi setelah kami terpisah jauh.
Selasar bangunan di antara lapangan dan perpustakaan ini
riuh rendah oleh segerombolan siswa berbaju hijau dengan celana coklat.
Bermacam-macam topik kami obrolkan, dari perempat final liga
championes, bulan Ramadan yang sudah di depan mata, hingga yang
paling serius adalah kelanjutan kami untuk menempuh
pendidikan di universitas. Rerata kami memilih perguruan tinggi negeri, baik
PTN ataupun PTKIN. Aku sendiri lebih condong untuk memilih
PTKIN, karena kegemaran dengan filsafat Islam dan juga tafsir.
“Ziz, kamu yakin mau mengambil akidah filsafat? Itu mata
kuliahnya cukup berat, lo. Tapi, ya, terserah kamu, sih. Malah enak aku
nggak harus bersaing sama kamu, gentar euy harus bersaing
dengan pemilik beberapa kejuaraan ilmiah,” ucap Andini padaku.
“Iya, Din, aku, kok, makin ke sini
Makin jatuh cinta, ya, dengan filsafat? Bagiku dengan
filsafat hidup menjadi lebih bermakna. Kalau tafsir Al-Qur’an itu sebagai
bentuk takzimku pada guru, kan rida guru juga menjadi salah satu rida Allah.”
“Iya, iya, iya, Pak ustaz, aku juga tahu. Bahkan terkadang
rida guru di atas rida orang tua. Karena bapak dan ibu kita memberi materi
Dunia, sedangkan guru memberi asupan rohani untuk kita.”
Percakapan ini terus berlangsung mengisi jam pembelajaran
yang kosong. Jika sudah seperti ini, rasa-rasanya aku sangat beruntung
dekat dengan Andini. Entah rasa ini akan dinamakan apa, yang
penting ada rasa nyaman jika kami bertukar pikiran. Nasib juga
senantiasa mempertemukan kami dalam satu kelas. Angin mana
yang membawa Andini, siswi gemar sejarah masuk ke kelas
Keagamaan.
“Kak, kalian sadar nggak sih? Tadi temanku ngambil gambar
kakak berdua loh, dia emang seperti itu sih, di kelas pun kelakuannya
juga minus,” ucapan salah satu adik kelasku memutus
percakapan tingkat tinggi yang kami lakukan.
“Biarin saja, Lin, orang iseng kenapa harus digubris, toh
nanti kalau sudah bosen ya nggak akan lagi, kan? Terkadang kita itu
merisaukan hal-hal yang tak seharusnya kita rasakan, kita
terlalu memintingkan ucapan dan tingkah laku orang lain, padahal itu
tindakan yang membuang waktu dan energi,” jawabku pada
Linda.
“Nah, nah, nah ... kalimat filsufnya keluar lagi kan? Lin,
itu, lo, Kak Aziz mau jadi cucunya Plato,” ujar Andini dengan bibir
menyunggingkan senyum.Hari yang kami nantikan pun menemui
ujung, tanggal dua April inilah nasib kelanjutan pendidikan kami ditentukan
oleh sistem dan
panitia SPANPTKIN. Aku berusaha tenang menantikan pengumuman
ini, dengan lantunan salawat Nabi kunikmati detik yang terus
berjalan. Hingga tanpa sadar diri ini terbuai dalam indahnya
mimpi di siang hari.
“Ziz, gimana sudah dibuka hasil SPAN-nya? Aku, kok, takut,
ya,” ujar Ghifari, teman kelasku.
Tak begitu lama gema suara Ghifari menghilang, langsung
kubuka web yang menampilkan pengumuman. Di sana tertera dengan jelas,
‘Muhamad Aziz, dengan NISN ... ... ... ... .... dinyatakan
tidak diterima di SPANPTKIN tahun ini, silakan kamu bisa mendaftar dijalur
ujian yang telah tersedia.’
“Arggghh! Dasar, panitia! Apa coba dasar mereka menolak aku?”
Hati ini begitu hancur, rasa-rasanya keyakinan yang telah
terpatri di dalam hati langsung dihancurkan dengan lima suku kata saja,--ti-dak
di-te-ri-ma. Aku
berada di titik terendah, apakah semua usaha selama tiga
tahun ini akan berakhir sia-sia? Apakah semua perlombaan
yang telah aku ikuti tidak ada gunanya? Apa, sih, yang
mereka cari?
“Heh, apa! Kamu tidak
keterima? Ya Allah, Massss ... Ibu ikut sedih.”
“Tetap menyala, Mas Aziz, masih ada kesempatan yang lain.”
“Jangan menganggap apa yang telah kamu lakukan di SMA ini
tidak berguna, ya, Ziz. Dari semua perlombaan, kegiatan, maupun
ketekunanmu dalam belajar itu memang belum bisa kamu tuai
dalam kesempatan ini. Namun, Ibu Gurumu yakin, orang seperti kamu itu akan
sukses pada waktu yang
telah Allah takdirkan. Dan ingat, tidak ada yang sia-sia
dari semua kebaikan yang telah kamu tanam.
Tagih janji Allah itu.”.
Kalimat motivasi yang telah aku terima ini serasa oase di
gurun Afrika, sangat menyejukkan. Namun, sesejuk-sejuknya gurun tetaplah
tidak akan bertahan terlalu lama, aku harus bisa bergerak
dari panas yang membara ini. Ketika yang lain sudah bisa bangkit dengan
mendaftar di jalur UTBK, aku masih berada di dalam labirin
kepasrahan. UTBK sama sekali tidak menarik bagiku.
Sikap fatalisme inilah yang membuat sang motivatorku marah.
Ia benar-benar menghujani diri ini dengan semua amonisi kalimat serta
kisah-kisah inspiratif. Raut mukanya yang biasanya cerah,
detik itu begitu nampak murka. kata per kata yang biasanya diikuti dengan
untaian senyum, kini kemarahanlah yang terpancar. Walaupun
begitu, aku tak melihat ada kebohongan di dalam tutur katanya. Hanya
ada ketegasan serta janji masa depan yang lebih gemilang
untuk sang murid harapan.
Empat april itulah yang menjadi titik balik bagi perjalanan
pendidikanku. Akhirnya aku memutuskan untuk mendaftar di universitas
negeri terbaik di Yogyakarta. Aku kembali mengambil jalur
prestasi, rasa-rasanya terlalu sulit untuk merelakan beberapa sertifikat yang
ada jika harus mendaftar lewat jalur mandiri.
“Ok, Ziz, aku daftar di jalur prestasi unggul, semoga kali
ini sama-sama bisa masuk,” ungkap Andini, pascakegagalannya dalam
UTBK.
“Harusnya kamu itu ambil jalur yang sama saja dengan aku,
karena peluangnya lebih baik dibanding yang kamu ambil, kita juga punya
kesempatan untuk menjelaskan prestasi kita kepada penguji,”
sesalku.
Dewi fortuna akhirnya menaungiku, strategi yang tepat
membawa diri ini ke kampus impian.
Aku harus bisa seperti mereka, para role
model! Janjiku dalam hati. Memang beberapa orang terdekatku
dilahirkan dari rahim almamater ini. Mereka benar-benar bisa
memaksimalkan semua ilmu dan pengalaman yang mereka peroleh.
“Mas, ini gorengan bakarnya di depanmu, ya.”
“Siaaap, Pak!”
Interaksi itu menyadarkanku dari lamunan panjang
perjalananku sampai ke titik ini. Aku harus selalu bersyukur dengan karunia
Tuhan
Yang Maha Kuasa, walaupun sosok yang setia menemani selama
delapan tahun ini sudah jauh dari pandangan. Biarlah jarak
memisahkan kita, tetapi doa dan dukungan akan selalu kita berikan
satu sama lain, hingga takdir-Nya yang menghantarkan kisah ini
akan ke mana.
“Andini, hanya Allah-lah Sang Pengatur skenario terbaik,
manusia hanya bisa menyusun rencana demi rencana. Satu yang harus kita
yakini, Takdir-Nya pasti terbaik untuk makhluk yang Ia
ciptakan. Aku percaya, saat ini kamu pasti merasakan sakit di dalam dada
karena impianmu yang belum terwujud. Kamu yang saat ini
sudah mendapatkan kampus baru pun masih memendam harap untuk kita
satu almamater lagi. Tetap berjalan dengan selalu meminta
rida dan perlindungan-Nya. Semoga kita bisa meraih semua mimpi dan
target gila di kampus masing-masing.”
Karangmalang, 08 Agustus 2024
Penulis: Ikhwan Khanafi
Komentar
Posting Komentar