Dua-Duanya Memesona, Mending Disinergikan
Salahkah jika ada pernyataan bahwa kita telah memasuki masa pudarnya pesona huruf braille? Saya tidak mau tergesa membenarkan atau menyanggah pernyataan itu. Meski realitas sehari-hari mendesak untuk membenarkan, saya belum punya angka dan data yang pasti dan sangat tidak bijak untuk menarik simpulan tanpa angka dan data yang akurat. Sebab itu, sebelum lanjut lebih jauh, perlu ditegaskan bahwa tulisan ini sekadar merefleksikan hasil japat yang dilakukan oleh Lintas beberapa waktu lalu dalam rangka menyambut Hari Braille Sedunia 4 Januari 2024.
Setelah menghimpun
pendapat dari sejumlahh disabilitas netra, saya menyadari bahwa mereka tidak
sepenuhnya mengabaikan huruf braille. Rata-rata masih menganggap huruf braille
sangat penting meski di era digital. Salah seorang responden mengatakan bahwa
braille mungkin tidak lagi digunakan di kampus-kampus karena telah tergantikan
oleh teknologi pembaca layar. Akan tetapi, braille masih dijadikan petunjuk tempat
atau label di barang-barang tertentu.
Responden lain
juga mengaku bahwa huruf braille telah memberinya banyak pengetahuan tentang
berbagai simbol seperti sains, notasi musik, hingga huruf Arab Braille yang tentu
sangat dibutuhkan untuk membaca Al-qur’an.
Saya sendiri berpendapat,
huruf braille sama sekali tidak usang. Teknologi braille juga terus berkembang
sebagaimana teknologi literasi lainnya. Yang menurun adalah tingkat literasi
braille di kalangan disabilitas netra. Mengapa demikian?
Menurut saya, itu
disebabkan munculnya alternatif-alternatif lain ketika disabilitas netra ingin
berliterasi. Dahulu, braille memang satu-satunya pilihan untuk mengakses
bahan-bahan bacaan. Namun, seiring waktu, teknologi text-to-speech merebak dan
menyita perhatian hingga menjadi idola baru di kancah literasi, khususnya bagi
penyandang disabilitas netra, yakni dalam wujud pembaca layar. Luar biasanya,
teknologi ini tidak hanya merambahi ruang literasi para disabilitas netra, tetapi
juga warga nondisabilitas. Adalah teknologi berbasis artificial intelligence (AI)
yang makin memopulerkan TTS. Kemampuan AI untuk mengubah teks menjadi suara
manusia menyebabkan banyak orang yang akhirnya meraup manfaat signifikan dari TTS.
Temtu bukan pembaca layar yang mereka butuhkan, melainkan suara yang dihasilkan
oleh AI. Mereka tidak perlu repot-repot muncul di depan kamera, cukup
menggunakan voice maker, sound maker, voice creator, dan semacamnya.
Apa pun aplikasi
atau perangkat lunak yang mereka gunakan, semua itu bermetode text-to-speech. Ini
membuktikan, pemanfaatan TTS kini tidak melulu didominasi disabilitas netra.
Warga nondisabilitas pun begitu menikmati eksistensinya.
Demikian kuat pesona TTS, tak kuasa memudarkan pesona huruf braille di mata penggunanya. Saya mengakui, selalu ada ruang bagi huruf braille dalam setiap lini kehidupan disabilitas netra yang tak dapat diisi oleh TTS. Begitu pun sebaliknya. Jadi, janganlah kedua metode literasi ini dipertentangkan. Akan jauh lebih berfaedah untuk menyinergikan keduanya. Kedua senjata ini punya keunggulan masing-masing dan yang mampu menguasai keduanya secara seimbang akan memperoleh manfaat yang jauh lebih signifikan. Mumpung masih Januari, kami tak bosan-bosannya mengucapkan selamat Hari Braille Sedunia 2024!
Penulis: Iin Saputri
Komentar
Posting Komentar