Dibutuhkan Lebih dari Sekadar Berani
Jika sebelumnya
saya sempat menyatakan ketidaksepahaman dengan salah seorang penulis mengenai
pembuatan judul, kali ini saya sepakat dengan seorang penulis lain mengenai
level menulis. Menurutnya, menulis memiliki dua level. Pertama, level ketika orang
harus punya keberanian untuk mulai menulis. Jika memang berniat jadi penulis, tidak
perlu ragu untuk menuangkan ide sesedarhana apa pun. Tidak perlu khawatir soal
tata bahasa dan hal-hal teknis lainnya. Yang terpenting, beranikan diri untuk
mulai berkarya.
Akan tetapi,
penulis yang baik tidak boleh hanya sampai di level pertama. Ada level selanjutnya
ketika proses menulis menjadi lebih sulit. Penulis perlu mempertimbangkan
banyak hal sebelum, selama, dan setelah menulis. Misalnya data dan fakta
melalui riset, ketepatan nilai dan makna dari setiap diksi, estetika, tata
bahasa, segmen pembaca yang disasar, dan penerbit yang tepat. Itu hanya
sebagian kecil dari berbagai hal yang harus dipikirkan untuk menghasilkan
tulisan berkualitas.
Saya sepenuhnya
sepakat dengan itu. Dalam segala hal, bukankah diperlukan usaha yang lebih
keras untuk mencapai level yang lebih tinggi? Menulis pun demikian. Pada tahap
awal kita seringkali dipacu dan dipicu untuk berani menulis. Pokoknya tulis
saja dulu, apa pun dan bagaimanapun itu.
Dalam salah satu
tulisan sebelumnya, saya pernah memaparkan bahwa seseorang pasti punya banyak
sekali keresahan yang ingin ditumpahkan dan itu sangat potensial menjadi sumber
ide tulisan. Hanya, memulainya yang seringkali sulit. Kita takut salah, takut
ditertawakan, takut dilabeli tidak kompeten, dan lain sebagainya.
Ketakutan-ketakutan itulah yang menghambat kemajuan seseorang yang bercita-cita
jadi penulis. Tidak heran, semua penulis yang pernah saya simak pengalamannya
selalu menekankan pentingnya keberanian untuk mulai menulis.
Namun, tentu
seorang penulis bukan hanya dituntut menjadi penulis yang berani, melainkan
juga penulis yang baik. Sebab itu, di tahap berikutnya, penulis sudah harus
lebih menyadari dan memahami proses yang ideal dalam membuat karya tulis.
Sepasti formula
eksakta, salah satu syarat untuk menjadi penulis yang baik adalah rajin
membaca. Lagi-lagi, semua penulis yang pernah saya simak selalu menekankan itu.
Pertama kali mendengar petuah dari penulis bahwa kita harus banyak membaca,
bacaan apa pun itu, saya spontan terpukau. Itu memang sangat memotivasi karena memberi
harapan besar kepada siapa pun, bahkan yang mengalami kekurangan bahan bacaan.
Namun, lama
kelamaan, opini saya berubah. Saya malah menganggap membaca apa saja tanpa
pemilahan itu berbahaya bagi mereka yang ingin jadi penulis. Setelah punya
fondasi pengetahuan tentang ketatabahasaan, saya menyadari, separuh bahan
bacaan dari internet tidak memenuhi kriteria sebagai bacaan berkualitas. Ini
bukan soal kredibilitas atau kebermanfaatan isinya, melainkan aspek tata bahasanya. Penggunaan
tanda baca yang kurang tepat, kalimat-kalimat yang tidak efektif, diksi yang
kurang sesuai konteks, dll. kerap membuat pembaca bingung, setidaknya saya. Mending
kalau pembaca hanya bermaksud mencari informasi. Kalau ingin menemukan tulisan
yang layak dicontoh tata bahasanya, apakah tidak malah rentan menyesatkan?
Sebab itu, saya
tidak sepakat dengan anjuran untuk membaca apa saja tanpa seleksi. Sepemahaman
saya, orang yang ingin jadi penulis perlu belajar yang terbaik sejak dini. Jika
sejak awal tidak membiasakan diri membaca tulisan berkualitas, tampaknya laju progres
kemampuan menulis kita akan sering tersendat.
Sekali lagi, saya
tidak sedang mengatakan bacaan dari internet itu sampah. Toh, banyak juga bacaan
berkualitas yang saya temukan di sana. Bahkan, selama ini, sumber referensi saya
dalam mengolah naskah berasal dari internet. Bukankah KBBI, EYD, dan berbagai
sumber pelajaran berbahasa juga ada di internet? Jurnal ilmiah dan literatur kesusastraan
juga bisa diakses di internet. Jadi, secara substansial, konten tulisan di
internet sangat bermanfaat dan layak dijadikan referensi. Akan tetapi, dari
segi tata bahasa, menurut saya belum semua patut diteladankan.
Berbeda halnya
jika kamu ingin menulis karya sastra, yang notabene punya lisensi puitis. Itu
pun tidak serta-merta membuat tulisanmu bebas melanggar pedoman ejaan. Kasihanilah
pembacamu kelak, yang tentu memiliki ekspektasi tinggi terhadap karyamu. Karena
itu, sebisa mungkin, perhatikan kaidah kebahasaan yang kamu gunakan.
Buat yang berhasrat
jadi penulis dan sedang mencari bacaan referensi, ingat saja kalimat tadi, “seorang
penulis bukan hanya dituntut menjadi penulis yang berani, melainkan juga
penulis yang baik.” Jadi, temukan bacaan terbaik, yang dapat membantumu memahami
cara terbaik untuk menulis. Setujukah, Sobat-Sobat Pelintas?
Kalau boleh tahu,
apa, nih, bacaan favorit Sobat Pelintas? Tuliskan di kolom komentar ya ....
#SalamLiterasi
#Lintas
#LiterasiTanpaBatas
Penulis: Iin Saputri
Komentar
Posting Komentar