Bisakah Nonfiksi Berjudul Fiksi?

Sebagaimana diceritakan sebelumnya, sekarang saya punya kebiasaan mengumpulkan video berisi pengalaman para penulis untuk kemudian dibagikan ke grup Whatsapp hunian saya. Suatu ketika, salah seorang penulis tersebut memberi kiat tentang pembuatan judul. Di antara semua poin yang dia paparkan tentang judul, ada satu hal yang mengusik kenyamanan saya. 60 % saya setuju dengan poin tersebut, tapi ada 40 % dari diri saya yang agak terganggu. Intinya, dia menyarankan bahwa judul fiksi dan nonfiksi seharusnya saling dibedakan. Judul tulisan fiksi jangan sampai berbau nonfiksi, demikian pula sebaliknya.

Jujur, saya tidak sepenuhnya sepakat dan mungkin juga keliru soal itu. Dari dulu saya memang berpendapat bahwa tulisan fiksi akan terasa gersang jika diberi judul berbau nonfiksi. Bahkan bisa jadi, awalnya kita berpikir itu tulisan nonfiksi, apalagi jika tidak ada petunjuk bahwa kata/frasa/kalimat tersebut merupakan judul tulisan fiksi.

Namun, di sisi lain, memberi judul berbau fiksi kepada tulisan nonfiksi sangat memacu adrenalin. Itu tantangan yang menyenangkan buat saya. Dalam pemahaman saya, tulisan nonfiksi akan lebih indah jika judulnya beratmosfer fiksi.

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis berita tentang sebuah lembaga yang memberi bantuan kepada warga di Pulau Belitung. Saya merasa tertantang untuk menata judulnya semenarik mungkin sehingga orang-orang berminat membacanya. Akhirnya, alih-alih menggunakan kata “Pulau Belitung”, saya menggunakan kata “Negeri Laskar Pelangi” di bagian judul. Tentu kata itu tidak dimunculkan di sepanjang bagian isi. Di paragraf awal saya tetap menggunakan “Pulau Belitung” demi memberi pemahaman bagi mereka yang mungkin belum tahu tentang Laskar Pelangi. Pernah juga saya menulis artikel feature tentang seorang anak penderita cerebral palsy yang menjalani fisioterapi di sebuah lembaga sosial. Setelah merenung beberapa hari, gonta-ganti judul dan selalu merasa kurang pas atau kurang menarik, akhirnya saya menyematkan judul “Dan Langit pun Mengalah”. Mengapa judul itu? Pertama, kebetulan saat itu bertepatan dengan musim hujan sehingga langit mendung sepanjang hari. Kedua, meski terapi fisik yang dijalani tentu menimbulkan rasa sakit, si anak yang masih berusia lima tahun itu tetap ceria. Dia selalu tersenyum ketika disapa. Jadi, maksud dari judul itu adalah bahwa mendung di langit pun tidak kuasa menghapus keceriaan anak kecil ini.

Tulisan itu pun saya uji bacakan ke teman-teman. Salah seorang teman berkata, “Kalau dimaksudkan untuk dimuat di website pemerintah, tulisan ini kurang layak, terutama judulnya. Tapi kalau untuk website umum, ini bagus banget.”

Kemudian saya mencoba membuktikan kata-kata itu. Saya mengirimkan tulisan itu ke website salah satu lembaga milik pemerintah. Hari berikutnya, saya dikirimi tautan website lembaga tersebut yang berisi tulisan saya. Senang? Tidak juga. Rupanya teman saya benar. Tulisan itu tetap dimuat, tapi judul dan beberapa kalimatnya diganti atau bahkan dihapus. Ketika saya cek, kalimat-kalimat yang dihapus merupakan rangkaian diksi yang memang penuh kiasan sehingga mungkin dianggap tidak sesuai dengan standard mereka tentang artikel feature. Judulnya pun berubah menjadi sangat kental beraroma nonfiksi.

Dari pengalaman itu saya belajar, satu tulisan dapat menyajikan rasa dan makna berbeda bagi tiap pembaca. Saya juga makin percaya bahwa setiap tulisan akan indah pada tempatnya; setiap tulisan akan menemukan pembacanya. Selamat menulis, cintai menulis, dan pikatlah pembacamu dengan keindahan diksi serta ketulusan karsa dan karya.

#SalamLiterasi

#Lintas

#LiterasiTanpaBatas

 

 

 

Penulis:     Iin Saputri 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024