7 Hal yang Dibenci Editor Naskah

Benarkah menulis itu mudah? Sungguhkah menjadi penulis itu tidak sulit? Sering saya menemukan penyelenggara-penyelenggara kelas kepenulisan menyajikan wara yang mengindikasikan demikian. Wara itu menjanjikan bahwa siapa pun yang mengikuti kelas mereka pasti akan mahir hanya dalam hitungan bulan, bahkan hari. Janji itu tidak salah sepenuhnya. Apalagi jika peserta yang dimaksud sudah punya dasar-dasar kepenulisan yang cukup, misalnya menguasai ejaan dan penggunaan tanda baca. Mereka tentu tinggal diasah dan dipoles.

Namun, lain halnya jika peserta tersebut benar-benar mulai dari nol. Menurut saya, janji itu terhitung muluk buat mereka. Dibutuhkan lebih dari sekadar niat untuk menjadi penulis mahir. Kita juga perlu tekad, komitmen, dan konsistensi.

Tentu tidak semua penyelenggara kelas kepenulisan melakukan hal itu. Ada juga yang hanya menjanjikan materi yang mudah diakses seumur hidup, topik yang menarik, pemateri yang berkelas dan fleksibel, serta berbagai manfaat berkolaborasi. Bagi saya, kelompok yang kedua ini lebih realistis.

 

 

Penulis tak sekadar menulis. Siapa pun bisa menulis, tapi tidak setiap orang bisa menjadi penulis. Percayalah, jika menjadi penulis semudah itu, tidak akan menjamur kelas-kelas kepenulisan seperti saat ini dan tentu saja tidak akan ada profesi editor.

 

 

Selama lima tahun menjalani profesi editor majalah, tidak terhitung naskah yang telah saya terima, baik dari internal lembaga maupun masyarakat umum. Jangan berpikir, semua naskah tersebut sudah tuntas saya baca. Sungguh, jumlah waktu saya masih sama dengan Teman-Teman sekalian, masih 24 jam sehari. Sudah termasuk waktu untuk tidur, mandi, ngobrol, makan, nonton, menulis, dan hal-hal insidental. Karena itu, betapapun mencintai pekerjaan penyuntingan, rasanya mustahil dapat membaca setiap naskah dengan intensitas yang sama.

 

Pada masa awal tercebur dalam dunia pengeditan tulisan, hal itu memang pernah berupaya saya lakukan sebagai wujud idealisme. Namun, akhirnya saya menyerah.

 

Seiring bertambahnya pengalaman, saya akhirnya punya kiat untuk menyiasati keterbatasan waktu untuk mengedit. Mungkin bagi sebagian orang, cara ini kurang adil, tetapi menurut saya, itu sangat efektif.

 

Sadar tidak dapat membatasi jumlah naskah yang masuk, akhirnya saya mencari celah. Naskah-naskah tetap diterima, tetapi tidak dibaca seluruhnya. Bukan berarti ada naskah-naskah yang diabaikan begitu saja tanpa dibaca. Naskah-naskah itu tetap dibaca, tetapi hanya sekilas. Biasanya, saya akan membaca paling banyak dua paragraf awal dan paragraf terakhir. Jika dalam paragraf-paragraf itu saya tidak menemukan hal penting dan/atau menarik, segera naskah itu disingkirkan.

 

Selain kriteria penting dan menarik, ada tujuh hal yang, apabila ditemukan dalam paragraf-paragraf itu, rentan mengakibatkan penolakan naskah.

 

 

1.       Saltik. Kesalahan tipografis atau yang lebih dikenal dengan typo merupakan kekeliruan yang tak disengaja dalam proses mengetik. Biasanya ini diakibatkan kegagalan mekanis (slip) pada tangan atau jari sehingga menekan dua tombol bersamaan. Terkadang saltik dapat menimbulkan makna yang jauh berbeda dari yang dimaksud. Misalnya, saat mengetik ketika, tapi lantaran saltik, kata ketika berubah menjadi ketiak. Terlampau banyak saltik yang ditemukan akan sangat mengganggu proses analisis tulisan oleh editor. Editor akan menganggap si penulis memiliki kecenderungan tidak cermat, malas, bahkan tidak serius ingin menerbitkan tulisannya.

 

2.       Salah eja. Berbeda dari saltik, salah eja relatif disebabkan oleh ketidaktahuan penulis. Penulisan kata depan yang tidak disepasi dengan kata selanjutnya, misalnya, bukanlah kekeliruan yang tidak disengaja, melainkan karena penulis memang kurang memiliki pemahaman ihwal tersebut. Contohnya saat menulis kata depan di dan sini tanpa diantarai sepasi. Hal demikian dikategorikan sebagai salah eja alih-alih saltik. Lagi-lagi ini dapat mencerminkan kurangnya pengetahuan dan wawasan penulis.

3.       Kalimat panjang ataupun pendek yang digunakan berturut-turut dan berlebihan. Dalam satu paragraf, sebaiknya jangan menggunakan beberapa kalimat panjang atau pendek secara berturut-turut dalam jumlah banyak. Akan lebih enak dibaca jika ada selang-seling. Misalnya, kalimat pertama menggunakan kalimat pendek, dilanjutkan dengan kalimat yang sedikit lebih panjang, kemudian kalimat yang lebih panjang lagi.

4.       Kalimat tidak efektif. Panjang atau pendek kalimat tidak dapat menjamin efektivitasnya. Meski pendek, sebuah kalimat belum tentu dapat dipahami dengan baik oleh pembaca, begitu pula sebaliknya. Saat terpaksa harus membuat kalimat yang panjang, penggunaan tanda baca yang tepat akan sangat membantu pembaca memahami maksud kalimat tersebut. Sebab itu, penulis wajib memahami cara menyusun kalimat efektif, termasuk penggunaan tanda baca yang tepat.

5.         Kelewahan/pemborosan/redundansi kata. Tanpa sadar, kita sering menumpuk dua kata atau lebih yang sebenarnya punya makna serupa. Misalnya agar supaya, disebabkan karena, hanya saja, Cuma sekadar. Pemborosan juga bisa terjadi dalam kelompok kata. Misalnya dalam kalimat berikut: β€œMasih banyak guru-guru yang hidup kurang sejahtera.” Seharusnya kata guru tidak perlu diulang karena kata banyak sudah memiliki makna jamak. Coba perhatikan contoh frasa berikut: menggelengkan kepala, masuk ke dalam, melangkahkan kaki. Apakah ada yang bisa digelengkan selain kepala? Apakah masuk tidak selalu ke dalam? Di tubuh manusia, apakah ada yang bisa melangkah selain kaki? Kemudian ada pula kalimat seperti ini, β€œSaya ingin mengenakan kemeja berwarna putih.” Bukankah kata berwarna bisa dihilangkan tanpa mengubah makna kalimat tersebut?

6.       pengulangan kata ganti yang berlebihan. Misalnya dalam kalimat β€œKetika saya  tiba, saya mendapati rumah saya sangat berantakan.” Untuk apa mengulang kata saya sebanyak itu dalam satu kalimat? Selain tidak efektif, kalimat itu pun mengalami pemborosan kata. Kita bisa mengubahnya menjadi, β€œKetika tiba, saya mendapati rumah sangat berantakan” atau β€œRumah sangat berantakan ketika saya tiba,” atau bisa juga β€œSetiba di rumah, saya mendapatinya sangat berantakan.”

7.       Kurangnya variasi diksi. Kata yang digunakan berulang-ulang, apalagi jika masih dalam satu kalimat atau paragraf, sangat tidak disukai editor. Ini mengindikasikan kurangnya wawasan penulis. Sebab itu, cobalah membuat diksi yang bervariasi agar mengesankan luasnya pengetahuan kita. Misalnya, jika sudah menggunakan karena di kalimat sebelumnya, gantilah dengan sebab di kalimat berikutnya yang membutuhkan kata tugas tersebut; walau dengan meski/kendati/sementang; namun dengan akan tetapi ... dst. Selagi masih bersinonim dan dapat digunakan dalam konteks yang sama, manfaatkanlah kekayaan bahasa Indonesia.

 

Meski ada ketujuh poin di atas, perlu diingat bahwa editor pun manusia biasa. Mereka punya selera dan subjektivitas masing-masing. Mungkin ada yang masih dapat menolerir ketika penulis mengabaikan satu atau lebih poin tadi. Itu memang sah-sah saja, apalagi dalam karya dengan laras bahasa yang lebih lentur seperti sastra dan kreatif. Sebagaimana diketahui, laras bahasa terbagi enam, yaitu sastra, kreatif, jurnalistik, bisnis, ilmiah, dan hukum. Sastra merupakan laras bahasa yang paling lentur, sedangkan hukum merupakan yang paling kaku dalam hal penerapan kaidah kebahasaan. Lebih jauh tentang laras-laras bahasa ini akan 

dibahas pada kesempatan lain.

 

Penulis:          Iin Saputri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024