Tak Segampang Itu Memulainya
Puluhan purnama
menggeluti dunia literasi, masalah yang paling umum saya temui pada mereka yang
baru berniat belajar menulis adalah kehampaan ide. Jangankan mereka,
orang-orang yang telah sering membuat naskah pun masih sering mengalami
kebuntuan semacam itu, termasuk saya.
Menurut saya,
sebenarnya bukan idenya yang tidak ada. Kami punya banyak sekali keresahan, kebingungan,
bahkan perang batin. Yang menjadi kesulitan kami adalah bagaimana cara
mengungkapkannya dalam tulisan dan dari mana harus memulainya. Selain itu,
tidak dapat dimungkiri juga, ada rasa malas bilamana yang akan ditulis itu ternyata
membutuhkan banyak referensi penunjang agar tidak dianggap sekadar curhatan bahkan
sampah.
Maka, kerap saya mendapati
orang yang menganggap menulis fiksi lebih mudah dibanding nonfiksi. Katanya,
nonfiksi harus disertai banyak teori, fakta, dan data, sedangkan fiksi tidak.
Fiksi hanya perlu imajinasi dan pengetahuan seperlunya tentang penggunaan
tanda-tanda baca.
Terus terang, saya
juga pernah sependapat dengan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, saya
akhirnya tercerahkan bahwa opini tersebut jauh dari kebenaran. Pertama, imajinasi
dan pengetahuan tentang tanda-tanda baca bukan semata diperlukan di dalam
kepenulisan fiksi, melainkan semua jenis tulisan. Kedua, dan ini yang terpenting,
menulis fiksi ternyata tak segampang itu. Terkadang, menulis fiksi jauh lebih
sulit ketimbang nonfiksi. Kecuali kalau kita Cuma mau menulis fiksi murahan.
Saya baru-baru
ini mengikuti kelas fiksi yang diadakan Gagas Media. Itu pertama kalinya saya belajar
kepenulisan karya fiksi. Materi dan tugas-tugas yang diberikan dalam sebulan
kelas itu berlangsung makin menyadarkan saya bahwa menulis fiksi jauh lebih
sulit dari yang pernah dibayangkan. Bukan karakter belaka yang harus kita
ciptakan, melainkan “semesta” bagi tiap karakter tersebut. Mulai dari tabiat dasar,
kebiasaan, keseharian, cara menyikapi semua situasi dan tokoh-tokoh lain, hobi,
hal yang tidak disukai, dan semua detail dari tiap tokoh yang kita ciptakan.
Semua itu tidak boleh berubah dari awal hingga akhir kisah, kecuali ada alasan logis
yang melatari perubahan. Sebab itu, penulis juga harus punya gambaran tentang masa
lalu tiap tokohnya. Dengan kerumitan semacam itu, saya sangat kagum kepada
penulis-penulis yang mampu menciptakan banyak tokoh dalam karyanya. Apalagi jika
tiap tokoh tersebut memiliki karakteristik tersendiri, berbeda satu sama lain.
Tokoh-tokoh semacam itulah yang mudah melekat di ingatan pembaca. Penulis yang sukses
menciptakan banyak tokoh, lengkap dengan semesta yang berbeda satu sama lain, adalah
penulis nyaris sempurna menurut saya. Hanya realitas bahwa tidak ada yang
sempurna di dunia inilah yang menahan saya untuk tidak menyebut mereka
sempurna.
Kembali ke soal
ketiadaan ide, tidak ada cara lain yang bisa saya sarankan kecuali mulai saja.
Mulailah menulis meski mungkin satu kalimat saja. Mulailah mencurahkan apa pun
gagasan dalam kepala kita. Mungkin nantinya akan banyak kalimat yang harus bertukar
tempat, diubah konteksnya, bahkan dihapus sama sekali. Itu bukan masalah. Yang
terpenting adalah tersajinya tulisan yang mampu mengakomodasi maksud dan tujuan
kita secara apik dan komprehensif. Cobalah terus menulis meski nantinya banyak
yang akan direvisi ketika masuk dalam tahap penyuntingan. Zaman sekarang kita
sangat beruntung karena punya tombol hapus di gawai sehingga tidak perlu
buang-buang kertas seperti para pendahulu kita.
Ada keuntungan
lain yang juga kita peroleh hari-hari ini, yakni kemunculan CHAT GPT. Chat GPT ( Generative Pre-training Transformer) adalah sistem kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau disingkat
I) yang berfungsi melakukan
interaksi dalam percakapan berbasis teks. Kita bisa memerintahkannya membuat teks sesuai dengan tujuan
kita, tentu dengan kata kunci yang detail. Secanggih-canggihnya CHAT GPT,
sebaiknya kita tidak terlampau mengandalkannya dalam menulis. Bagaimanapun,
fasilitas ini hanya berupa teknologi, yang tentu tidak dilengkapi emosi dan
pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan karakteristik manusia. Karena itu, jika
sekadar untuk mendapatkan contoh bagaimana memulai sebuah tulisan, saya bisa
merekomendasikan penggunaan Chat GPT. Akan tetapi, untuk membuat tulisan yang
berkualitas tinggi, dengan analisis tajam dan emosi mendalam, manfaatkanlah
seperlunya saja, misalnya untuk mencari data/fakta ilmiah, angka-angka
statistis, atau nama-nama entitas tertentu.
Saya
pernah mencoba membuat cerpen via Chat GPT, tetapi ternyata sulit sekali
baginya untuk membuat dialog. Semua hanya disuguhkan dalam bentuk narasi.
Kalaupun ada dialog yang dia buat, bentuknya meniru naskah drama, yakni dibubuhi
tanda titik dua dan tanda kurung. Walaupun saya sudah menginstruksikan untuk tidak
membuat dialog semacam naskah drama, tetap saja format tersebut yang
dimunculkannya. 😊
Masih
banyak aspek lain yang menurut saya menjadi kekurangan Chat GPT ketika
diandalkan untuk menyusun tulisan. Intinya, kita tetap harus mengedit hasil
pekerjaannya jika menginginkan tulisan yang bernas. Dengan demikian, kembalilah
pada rekomendasi utama, yakni mulai saja apa pun yang terjadi setelahnya.
Semoga
sedikit pengalaman yang saya bagikan melalui tulisan ini ada manfaatnya bagi
Teman-Teman. Setidaknya Teman-Teman tidak merasa menyia-nyiakan waktu untuk membacanya.
#SalamLiterasi
Penulis: Iin Saputri
Komentar
Posting Komentar