Literasi sebagai Senjata Rahasia Melawan Penjajah

Sudah sering kita mendengar bahwa bangsa Indonesia berjuang melawan penjajah menggunakan senjata seadanya, bahkan sekadar bambu runcing. Dengan senjata sesederhana itu, betapa epik perjuangan mereka hingga Indonesia akhirnya mencapai kemerdekaan tahun 1945. Siapa bilang bangsa Indonesia berjuang hanya mengandalkan bambu runcing dan segelintir senjata api? Yang berpikir demikian tentu belum memahami sepenuhnya jalan panjang perjuangan bangsa Indonesia.

 

Ada satu senjata rahasia yang sangat ampuh dan memegang peran sangat penting dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Senjata itu tidak lain adalah literasi; terbukti dengan banyaknya pahlawan kemerdekaan yang berprofesi sebagai penulis ataupun jurnalis. Lewat karya-karya yang memaparkan analisis, gagasan, dan semangat pantang menyerah, mereka mampu memantik dan menggelorakan tekad persatuan dan nasionalisme untuk melawan feodalisme dan kolonialisme yang membelenggu bangsa Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Berikut tujuh di antara pahlawan nasional yang juga berjuang melalui tulisan-tulisan mereka.

 

 

1. Ki Hajar Dewantara

         

Siapa yang tak kenal dengan tokoh satu ini?

 

Ki Hajar Dewantara, yang juga dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, adalah seorang aktivis pergerakan kemerdekaan RI, kolumnis, politikus, pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dari masa penjajahan Belanda, dan juga pendiri Taman Siswa. Ki Hajar lahir dari kalangan bangsawan di tanah Jawa.

 

Pria yang juga memiliki nama Suwardi Suryaningrat ini juga sebelumnya seorang wartawan. Ia memulai kariernya sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Pada saat itu, Ki Hajar menjadi salah satu penulis andal lantaran tulisannya dikenal komunikatif, tajam, dan anti-kolonial.

 

Namun, karena tulisannya juga, Ki Hajar sempat diasingkan pemerintah Hindia Belanda. Tulisannya yang berjudul "Als ik een Nederlander was" atau "Seandainya Aku Seorang Belanda" yang dimuat dalam surat kabar De Expres pada 13 Juli 1913, dinilai sebagai kritikan pedas di kalangan pejabat pemerintahan Hindia Belanda.

 

 

2. Tan Malaka

Pejuang kemerdekaan lain yang gemar melawan penjajahan Belanda melalui tulisan adalah Tan Malaka. Ia juga dikenal sebagai seorang pengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Utara. Selain mengajar, ia juga menulis beberapa propaganda untuk para kuli yang dikenal sebagai Deli Spoor.

 

Pada masa-masa itu, Tan Malaka mulai mengamati dan memahami penderitaan dan keterbelakangan hidup pribumi di Sumatra. Dia juga sering menulisnya di media massa. Salah satu karyanya berjudul Tanah Orang Miskin.

 

Tulisan tersebut berkisah tentang perbedaan mencolok kekayaan kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord. Tan Malaka juga menulis tentang penderitaan para kuli di perkebunan teh di Sumatera Post.

 

 

3. Mohammad Hatta

Meski harus berjuang melawan pemerintahan kolonial Belanda, Mohammad Hatta menjadi salah satu pahlawan nasional yang berperan di bidang jurnalistik. Hatta mulai menulis sejak dirinya bersama Sutan Syahrir ditangkap dan diasingkan Belanda ke Boven Digul dan Banda Neira pada 25 Februari 1934.

 

Hatta mulai menulis untuk koran-koran Jakarta dan majalah-majalah di Medan, Sumatra Utara. Namun, tulisan Wakil Presiden pertama RI di media cetak tersebut tidak berbau politis, melainkan penuh analisis untuk mendidik pembaca.

 

4. Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)

Pria kelahiran 17 Februari 1908 yang dikenal dengan panggilan Buya Hamka ini merupakan seorang ulama dan juga sastrawan. Dia melewatkan waktunya sebagai seorang wartawan, penulis, sekaligus pengajar.

 

Tak hanya itu, Hamka juga terjun dalam dunia politik melalui Partai Masyumi hingga partai tersebut dibubarkan. Ia menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dan aktif di Muhammadiyah hingga akhir hayatnya.

 

Universitas Al Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkan gelar doktor kehormatan, sementara Universitas Moestopo Jakarta mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

 

 

5. Tirto Adhi Soerjo

Djokomono Tirto Adhi Soerjo atau yang lebih dikenal Tirto memang dikenal sebagai tokoh pers dan kebangkitan nasional Indonesia. Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai perintis surat kabar dan kewartawanan di Tanah Air. Namanya juga sering disingkat TAS.

 

Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita pada 1903-1905, Medan Prijaji 1907, dan Putri Hindia 1908. Dia juga mendirikan Sarikat Dagang Islam.

 

Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama, karena menggunakan Bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, hingga wartawannya adalah pribumi.

 

 

6. Tjipto Mangoenkoesoemo

Tjipto Mangoenkoesoemo adalah satu dari Tiga Serangkai bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker. Tjipto juga dikenal sebagai seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia bersama dua kawannya itu.

 

Tiga Serangkai kala itu banyak menyebarluaskan ide pemerintahan dan kritik terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Tjipto juga merupakan tokoh Indische Partij, organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di tangan pribumi.

 

Pada 1913, Tjipto bersama kedua rekannya diasingkan pemerintah kolonial ke Belanda akibat tulisan dan aktivitas politiknya. Mereka baru kembali ke Tanah Air pada 1917.

 

7. Ruhana Kuddus

 

Presiden Joko Widodo memberikan persetujuan Gelar Pahlawan Nasional kepada Ruhana Kuddus, pionir jurnalis perempuan yang berasal dari Sumatra Barat.

 

Ruhana Kuddus melalui ahli warisnya menerima penganugerahan gelar tersebut di Istana Negara pada 8 November 2021. Ruhana lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 20 Desember 1884. Ia merupakan kakak tiri dari Soetan Sjahrir, perdana menteri Indonesia pertama dan sepupu KH Agus Salim.

 

Walau tidak mengecap pendidikan formal, perempuan berdarah Minang tersebut tetap bisa belajar membaca serta menulis dari sang ayah yang selalu membawakannya buku usai bekerja. Di usia muda, ia menguasai bahasa Belanda, Arab, Latin, dan Arab Melayu.

 

Ruhana mendirikan surat kabar bernama Soenting Melajoe pada 10 Juli 1912. Dia menyusun redaksi surat kabar ini dengan diisi perempuan. Ruhana juga memiliki banyak karya jurnalistik yang tersebar di berbagai surat kabar, seperti Saudara Hindia, Suara Koto Gadang, dan Guntur Bergerak.

 

Masih banyak pahlawan nasional yang berkarier di bidang kepenulisan. Sebut saja Abdul Muis. Abdul Muis bahkan merupakan pejuang pertama yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, yakni pada 1959. Tanggal lahirnya, 3 Juli, ditetapkan sebagai Hari Sastra Indonesia sejak 2013.

 

#LiterasiSenjataAmpuh

#SelamatHariPahlawan

#SalamLiterasi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024