Berkualitas Meski Tak Nyaman

Ketika tidak semua keinginan bisa tercapai, itu bukan berarti akhir dari segalanya. Terkadang, ketidakberhasilan adalah jalan menuju kebahagiaan yang lebih besar yang mungkin belum terpahami saat ini. Tetaplah bersyukur dan teruslah melangkah dengan keyakinan bahwa setiap langkah membawa pembelajaran berharga.

***

Gelak tawa riuh di ruangan itu terasa semarak, menggambarkan suasana ceria. Suara belasan orang yang saling bersahutan dari sudut ke sudut, membahana memenuhi ruangan yang cukup luas itu. Situasi semacam ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di kantorku, terutama sejak ruangan itu dipugar dan ditambah penghuninya. Sebelum renovasi, ruangan itu hanya berisi 9 pegawai. Bahkan tidak begitu lama sebelumnya, hanya enam orang di dalamnya, sudah termasuk aku. Setelah luasnya bertambah, kepala kantor berupaya begitu keras untuk memenuhi ruangan itu dengan pegawai—alasannya untuk efisiensi. Kami sebagai bawahan tidak bisa apa-apa meski dalam hati tidak begitu bisa menerima. Bagaimanapun luasnya, jika diisi banyak orang dan barang, tentu akan sempit juga, bukan? Setelah pemugaran, kini ruangan itu terdiri atas 20 pegawai, tentu dengan meja-kursi, filing cabinet, dan lemarinya masing-masing. Bisa terbayang bagaimana riuhnya suasana jika semuanya berkumpul.

Di tempat kerjaku sebelumnya, 99 % waktu kuhabiskan di ruangan yang hanya terdiri atas paling banyak 5 orang. Aku sangat menikmatinya. Di ruangan seperti itulah ide-ide bisa mengalir deras, ketenangan bisa mewujud dengan mudah, dan tingkat konsentrasi dapat mencapai level maksimal. Aku memang sangat sulit berkonsentrasi di tengah keramaian—atau lebih tepatnya keberisikan. Multitasking juga tidak termasuk dalam daftar kemahiranku. Aku kadang heran, kok ada orang yang bisa mengetik sembari ngobrol seru? Namun, aku mahfum, tiap orang memang punya kemampuan berbeda. Tiap orang juga punya keterbatasan tersendiri. Sebab itu, kuharap orang lain pun dapat memahami kemampuan, kebutuhan, dan keterbatasanku.

 

Kini suasana kerjaku bertolak belakang dengan sebelumnya. Masih mending jika sebagian sedang bertugas di lapangan. Situasi di ruangan tentu sedikit lebih nyaman. Namun, berdasarkan pengalamanku kurang lebih setahun ini, situasi seperti itu tidak bisa langgeng sungguhpun Cuma setengah jam. Akan ada pegawai dari ruangan lain yang mendatangi ruanganku, entah sekadar mampir menyapa, atau tinggal cukup lama untuk ngobrol (mungkin gibah?), atau saling melontarkan gurauan dengan suara nyaring.

 

Pasti kalian bertanya, mengapa aku tidak memohon kepada atasan untuk pindah ke ruangan lain saja?

Itu memang memungkinkan. Apalagi sebagai penyandang disabilitas netra, siapa pun pasti bisa setidaknya mempertimbangkan permintaan itu. Bukankah aku bisa bilang, “saya mengandalkan pendengaran dalam mengoperasikan laptop sebab menggunakan pembaca layar, karena itu perlu ruangan yang lebih kondusif.” Masuk akal, bukan? Akan tetapi, aku tidak pernah mencobanya. Nah, lo, kenapa? Bukannya aku tidak pernah mempertimbangkannya. Hanya, setelah kupikir-pikir lagi, kondisinya belum mampu memaksaku beralih posisi. Walau persentase keuntungannya tidak begitu signifikan dibanding jika pindah ke ruangan lain, aku memilih tetap di ruangan ini, setidaknya untuk saat ini.

Pertama, aku orang baru di kantor ini. Aku butuh bertemu dan mengenal lebih banyak orang. Kalau pindah ke ruangan lain di mana kemungkinan besar isinya tidak sampai 4 orang, kesempatan bersosialisasi dengan lebih banyak orang makin menipis.

Kedua, aku orang baru dibidang pekerjaan yang sejak 2 tahun belakangan ini menjadi fokus utama, bahkan bisa dikatakan satu-satunya, lembaga ini. Aku tidak tahu menahu seluk-beluk pekerjaan ini. Sebab itu, aku butuh banyak informasi dan relasi. Dengan dikelilingi lebih banyak orang yang berpengalaman dalam bidang ini, aku bisa punya lebih banyak pengetahuan, pengalaman, hingga trik dan kiat yang tidak dapat dipelajari secara teoretis atau sekadar menelusuri internet.

Ketiga, meski aku lebih suka menyendiri, aku juga sangat senang menikmati gurauan, candaan, dan semacamnya. Aku bukan orang yang pandai melontarkan kelakar, tapi aku sangat menyukai lelucon yang disampaikan orang-orang. Saat disuguhi cerita humor, aku termasuk orang yang mudah merasakan kelucuan, kecuali jika humor itu bersifat vulgar. Menurutku, humor-humor vulgar sama sekali tidak berkelas. Dengan jumlah orang sebanyak itu, banyak juga sumber cerita lucu yang bertebaran di sekitarku. Sebab itu, rasanya sayang sekali jika harus meninggalkan ruangan ini.

Keempat, aku tidak ingin membuat rekan-rekan seruanganku merasa tidak enak hati. Kalau aku pindah ruangan, mungkin ada yang berpikir, “ah, pasti dia tidak suka dengan kami.” Sementara itu, aku bukan orang yang gemar memberi penjelasan, apalagi yang panjang lebar.

 

Itulah sekelumit pengalamanku di tempat baru ini. Tidak begitu nyaman di satu sisi, tapi sangat berkualitas di sisi lain. Tak pernah kutahu apakah mereka nyaman dengan keberadaanku atau tidak. Akan tetapi, aku selalu berupaya untuk tidak membebani mereka berlebihan. Sebisa mungkin tak kusulitkan mereka, kecuali dengan hal-hal yang mungkin tak kusengaja.

 

Lantas, kenapa aku menceritakan ini? Pertama, ingin produktif menulis. Makin sering menulis, makin terlatih kita dalam mendaraskan ide dan memainkan kosakata.

 

Kedua, ingin menamatkan tulisan. Seringkali, tulisan-tulisanku macet di tengah jalan karena kehabisan strategi merangkai diksi untuk mengungkapkan gagasan. Bukankah tulisan terbaik adalah tulisan yang selesai?

 

Ketiga, ingin menarasikan apa yang dimaksud oleh rangkaian diksi memikat di paragraf awal tulisan ini. Daripada sekadar menasihati, lebih baik jika disertai contoh nyata, bukan? Intinya, aku ingin belajar bersyukur kendati sungguh tidak mudah.

 

 

 

Penulis: Iin Saputri 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024