Pilihan HatiCerpen Karya@Ikhwan Pelintas
Mencintai atau tak mencintai harusnya seperti
kopi dan teh, orang-orang diizinkan untuk memilih.
“Halo, Mas. Salam kenal aku Rossa. Aku kelas
Mipa 5.”
Sapaan di depan kelas itu membuat Cico berhenti
menyaksikan teman-temannya yang sedang asyik bermain bola basket. Netranya
beralih menatap gadis yang baru saja menyapa.
“Iya, Mbak, ada yang bisa saya bantu? jawabnya
lirih.
“hmmm … tidak sih Mas, hanya ingin mengajak
kenalan saja, kok,” jawab Rossa.
Cico pun memperkenalkan dirinya. Percakapan itu
tak berlanjut, karena Cico yang dipanggil oleh teman-temannya untuk bermain
basket.
Basket merupakan salah satu olahraga yang
menjadi primadona di SMA Cendikia. Alhasil banyak para siswa yang mempergunakan
waktu senggang yang mereka miliki untuk bermain olahraga yang berasal dari
Amerika Serikat ini. Tak terkecuali anak-anak sepuluh IPS 3, kelas dari Cico
dan kawan-kawan. Kebetulan hari ini adalah jadwal olahraga, walaupun pelajaran
ini akan dimulai dua jam lagi, namun karena guru ekonomi sedang ada kegiatan di
luar sekolah dan hanya meninggalkan tugas, akhirnya dari jam pertama Cico dan
anak-anak cowok IPS 3 langsung berganti seragam dan bergegas ke lapangan.
“Kalian mau ke manaa? Ayoo kerjakan dulu tugas
dari bu Danik!”
“Gampanglah Lin, nanti aku nyalin, ya.” Jawab
cowok-cowok IPS 3 kompak. Linda pun hanya berdecak keras.
Jam olahraga berakhir. Saat Cico berada di
kantin, tiba-tiba Wawan menyikut tangannya, dan memberikan kode bahwa ada cewek
yang memperhatikan Cico hampir tak berkedip. Cico pun teringat pada kejadian
saat hendak pemanasan di depan lapangan tadi.
“Kamu Rossa, kan?” Tanya cico.
Sang gadis tersenyum lebar dan menunjukkan
deretan giginya yang rapi.
“Iya Mas. Ternyata masih ingat toh,”
“Ya masih, lah, baru aja tiga jam yang lalu
masa aku sudah lupa, aku belum pikun loh ya hehehe. Kayaknya nggak perlu
panggil mas, kan kita satu angkatan.”
Bel tanda waktu istirahat berakhir yang
berbunyi membuat Cico dan Rossa menghentikan percakapan. Mereka tak sadar bila
tinggal mereka berdua sajalah yang berada di depan gerobak somai ini. Cico dan
Rossa pun saling pandang, dan langsung bergegas ke kelas masing-masing. Sesampai
di kelas, cico mencak-mencak kepada Wawan yang meninggalkannya tanpa ijin.
“Dasar orang yang lagi jatuh cinta pada pandangan
pertama ya seperti ini, tadi aku dah manggil kamu loh untuk ganti seragam. Kamu
aja yang nggak dengar,” jawab Wawan.
Cico pun mendapatkan tepuk tangan dari para
sahabatnya. Kegaduhan itu berakhir ketika bu Fitry memasuki kelas. Selama
pembelajaran PAI berlangsung, Cico kurang memperhatikan penjelasan dari Sang
guru.
“Mas Cico coba jelaskan apa yang menjadi dasar
ayat pertama dalam Al-Quran adalah lafaz Iqra’?”
Ia pun tergagap, dan tak mampu menjawab
pertanyaan dari bu guru karismatik itu. Beruntung baginya, bu Fitry hanya
tersenyum.
Malam menyapa tanah wali ini, Cico gelisah di
atas kursi belajarnya. Buku fisika yang ia bawa hanya dibalik-balik tanpa
makna. Pikirannya masih memutar kejadian pagi tadi, saat dalam waktu kurang
dari empat jam ia bertemu dengan Rossa. Sikap Rossa yang terbuka langsung
membuat Cico tertarik. Sayang baginya, karena belum berhasil mendapatkan nomer
sang gadis.
Perasaan suka yang melanda tak mampu ia redam
dengan aktivitas padat dari sekolah. Ia yang sedang mengikuti seleksi OSIS
sering mendapatkan teguran dari kakak-kakak OSIS, terutama saat baris-berbaris.
Cico sering kualahan mengikuti instruksi dari sang senior.
“Kamu itu yang serius! Mau jadi anak OSIS kok
fakusnya ke mana-mana. Perhatikan gerakkanmu!
Teriakkan kakak kelasnya membuat Cico terkejut.
Ia segera mematuhi arahan. Namun peristiwa itu terlalu sering terjadi yang
akhirnya membuat ia harus mendapatkan seri berkeliling lapangan sepuluh kali.
Saat menjalani hukuman itulah tiba-tiba ia melihat paras Rossa yang sedang
berdiri di depan perpustakaan. Rossa memberikan semangat melalui isyarat dua
jempol.
Semangat Cico langsung tumbuh, seri pun ia
lakukan dengan senang hati. Selesai seleksi Cico berniat untuk meminta nomer
handphone Rossa, namun belum sempat kesampaian, instruksi untuk segera
meninggalkan sekolah berbunyi dari petugas piket. Saat yang sama, jemputan dari
Rossa pun datang.
Kantin kembali mempertemukan Cico dan Rossa,
kali ini saat jam istirahat kedua. Cico yang sedang bersantai dengan segelas es
jeruk mendapatkan tepukkan di pundaknya. Saat ia menoleh, wajah masam Rossa
langsung terpampang nyata. Sadar akan waktu istirahat yang tak lama, Cico pun
langsung buru-buru meminta nomernya.
“Asalamu’alaikum.
Wajahmu kenapa euy, kok kaya baju cucian yang tak terkena matahari lima hari?
Hehehe,”
Waah!
Sialan kamu, Co, kamusih nggak tahu kejadian yang menimpaku tadi,”
“Hmmm …
menjawab salam itu hukumnya apa? Jawab dulu dong salamku. Ya gimana mau tahu?
Akukan bukan peramal,”
Kedua insan itu terus bertukar pesan,
penjelasan dari guru tak mereka hiraukan.
“Kamu
maple apa, Ros?”
“Biologi.
“Kamu sendiri?”
“Bahasa
Indonesia.”
Terlalu fokus dengan HP-nya, Cico tak sadar
bila bahaya sedang mengancam. Ia baru sadar ketika lengannya telah dipegang
oleh bu Hani. Alhasil benda itu pun langsung berpindah tangan. Tampang sangar
sang guru kontan membuat Cico ciut nyali. Teman se kelas pun ragu untuk
menertawakan tampangnya.
“Bagus sekali ya, Nak kelakuanmu. Bu Han di
depan menjelaskan malah kamu chatting
sama anak kelas lain. Bu Han kan sudah berkali-kali berpesan tho, jika HP itu
jangan ditaruh di loker, tapi taruh saja di tas, kok ya kamu itu ngeyel.”
Cico tak berani menjawab. Kepalanya tertunduk
lesu. Ia mulai sadar jika hampir dua minggu ini tupoksinya sebagai pelajar
terinterupsi. Dan penyebabnya adalah rasa suka yang sudah terlalu menguasai
hatinya. Tapi ia tak kuasa untuk mengingkari isi hati, Rossa telah menyita
sebagian besar pikirannya. Dampak kurang baik pun telah ia terima dengan tak
terpilihnya diorganisasi OSIS. Impian untuk menjadi pengurus OSIS pun sirna.
“Seandainya aja waktu PBB itu aku serius, pasti
aku diterima di OSIS,” sesal Cico dalam hati.
Alasan Cico sangat berdasar, karena ditahapan
yang lain semuanya sangat bagus, baik wawancara, pidato, visi misi, curriculum
vitae mendapatkan nilai baik. CV-nya pun mendapatkan nilai Sembilan puluh lima.
“Kamu
itu gimana eh, kok pesanku tak dibalas, telephone tak diangkat. Hiiih!”
Ribuan pesan bernada serupa langsung Cico
terima dari Rossa. Ia lalu menjelaskan jika handphone-nya satu hari penuh
berada di kantor guru. Rossa hanya mengeluarkan uh pelan.
Kegelisahan Cico tertangkap jelas oleh sahabat
karibnya, Wawan. Cico tanpa ragu menceritakan isi hatinya kepada Wawan, dari
perasaannya ke Rossa, penyesalan karena tak masuk ke OSIS, hingga terlalu
seringnya ia tak mendengarkan penjelasan guru.
“Gimana ini, Wan!” Cico frustasi.
“Ya itusih terserah kamu ya. Aku tak dapat
berbuat apa-apa, toh aku belum pernah mengalami. Namun jika aku boleh mengasih
saran, hentikan saja pendekatanmu ke Rossa.”
“Tidak segampang itu, Wan. Rossa sepertinya
sudah terlanjur cinta sama aku,”
“Kamu sendiri gimana, Co? peduli pada perasaan
orang lain itu penting, namun perhatian pada perasaanmu itu jauh lebih penting,
Bro.”
“Kalau aku boleh jujur, sebenarnya Rossa itu
sangat menarik. Hanya ada beberapa sikap yang kurang nyaman bagiku, misalnya
sikap terbukanya pada orang lain, sikap over
protektif, sama cara beragamanya yang masih kurang. Tapi aku juga sadar
sikapku pun masih jauh dari sempurna,”
“Hmmm … ya aku hanya bisa ngasih saran itu sih,
Co. yang penting kamu tetap fokus pada tujuanmu masuk SMA Cendikia ini. Jadikan
hal ini sebagai pengalaman. Kata orang bijak, pengalaman adalah guru terbaik,”
jelas Wawan.
“Cicoo,
ayo kapan kita jalan-jalan. Malam minggu besok ada film bagus loh.
Teman-temanku banyak yang mau nonton nih,”
“Wah
sorry banget Ros, malam minggu besok ada pertandingan basket bagus eh. Aku juga
sudah pesan tiketnya,”
“Huh …
ya udah.”
Pesan-pesan yang terkirim itu mempertandakan
betapa dunia Cico dan Rossa memanglah berbeda. Cico yang maniak basket
sementara Rossa sangat menggilai film dan cenderung mengikuti arus
teman-temannya. Perbedaan yang masih mencoba untuk mereka kompromikan . Namun
Cico ragu, hubungan yang mereka jalin pun baru hanya saling menjajaki tapi sudah ada konflik yang
mewarnai.
“Co, kali ini kamu harus mau temani aku ke mall, ya, ada drama Korea bagus nih.
Malu eh kalau di sana nggak bareng sama teman. Habis di sana semua berpasangan
euy,” ungkap Rossa saat mereka berada di depan kolam ikan peliharaan sekolah.
“Oke, deh, kebetulan hari sabtu besok IBL
libur. Ya, walaupun aku nggak paham sama sekali sih tentang drakor, tapi ya
ndak ada salahnya, siapa tahu di sana aku dapat relasi baru.”
“Nah gitu donk, masa kamu hanya mementingkan
diri kamu sendiri. Ingat loh, orang special itu juga perlu diprioritaskan. Aku
janji deh, kapan-kapan tak ikut ke GOR.”
Kejadian itu sering terulang, ada kalanya Cico
menemani Rossa, lain waktu Rossa gentian mengikuti kebiasaan Cico. Namun, hampir
pasti keduanya merasa kurang nyaman dengan kegiatan baru yang mereka alami.
Terutama Cico yang sedikit barbar jika sudah berada di area basket baik saat
bermain maupun menonton, akan menjadi pendiam jika sudah berada di bioskop.
Rossa pun merasakan jengah dengan euphoria dipertandingan basket.
“Hmmm … lima bulan seperti ini, ternyata juga
kurang enak ya. Kok sepertinya aku nggak sanggup melanjutkan ini semua. Tapi,
Tuhan, munafik jika aku tak kagum pada bidadari yang Kau hadirkan kepada
hamba-Mu ini,” konflik batin melanda Cico.
Taman kota cukup sepi, hanya ada beberapa orang
yang bersantai menikmati sore ini. Sepinya taman di tengah kota adalah anomaly,
karena hampir setiap hari tempat yang sangat indah ini digunakan oleh muda-mudi
untuk menikmati hari, terutama di sabtu sore. Namun karena hujan yang
membungkus kota sejak pagi membuat taman ini lengang.
“Ros, aku mau Tanya nih, apakah dari pertama
mengenalku di koridor kelas waktu itu sampai saat ini apakah kamu ada perasaan
suka padaku?” entah apa yang menjadi pemantik Cico mengluarkan kalimat itu.
“Duh Co, pertanyaanmu itu begitu aneh. Jika aku
tak nyaman padamu, lalu untuk apa aku bela-belain menemani kamu ke GOR hampir
setiap sabtu? Jika kamu emang peka, harusnya kamu sudah tahu dari awal,” jawab
Rosa berkaca-kaca.
“Sorry,
Ros, aku memang sama sekali tak berpengalaman mengenai perasaan seperti ini.
Benar katamu, Ros, aku emang cowok yang sama sekali tak peka. Naif, Ros, jika
aku tak ada rasa padamu. Tapi aku sadar, hubungan kita hampir tujuh bulan ini
stagnann. Ros, hubungan yang seperti ini aku sadari sangat tidak mengenakkan
untuk kita. Banyak kepentingan yang sama-sama kita korbankan.”
Kata-kata yang keluar dari lisan Cico itu
serasa duri mawar yang ditusukkan perlahan-lahan ke dada Rossa. Ia sangat
terluka. Kalimat-kalimat selanjutnya yang diungkapkan Cico menambah perihnya
luka yang Rossa rasakan.
“Ros, untuk sementara memang tak ada hari yang
menjadi awal kisah cinta kita. Namun hari ini pun bukan akhir dari persahabatan
kita. Justru ini saatnya kita menjalin hubungan persahabatan yang saling
mendukung apa yang kita impikan. Hari ini bukan hari dimana kita putus,
melainkan awal dari lepasnya kekangan yang mengikat kita. Kegemaran kita
terlalu sukar disatukan.”
Hujan yang semakin deras tak mampu
menyembunyikan air mata yang menggenangi mata sipit Rossa. Tangisnya semakin
menjadi ketika kalimat terakhir Cico keluar.
“Ros, jika Yang Maha Kuasa mengijinkan, kelak
hubungan kita akan berakhir indah. Detik ini aku tak mungkin menghalalkanmu,
melainkan aku harus meninggalkan kamu. Jangan lupa tetap semangat berproses
untuk meraih apa yang kamu idam-idamkan .
Sleman, 28 Februari 2023.
Komentar
Posting Komentar