Maira

                Empat puluh delapan bulan sudah gadis kecil itu hanya terbaring. Tubuhnya yang dulu gempal menggemaskan, kini tampak tulang berbungkus kulit. Tak ada lagi keceriaan pada raut kuyunya. Tatapannya kosong, menerawang jauh berusaha menahan agar cairan bening dari sepasang matanya tak tumpah.

***

 

                “Bunda, Maira mau ikut sahur juga,” tiba-tiba suara parau gadis kecil itu memecah keheningan.

Seorang perempuan jelita yang duduk di sebelah pembaringan putrinya itu tersentak. Ia paham betul ini Ramadhan keempat buah hatinya ingin turut menunaikan ibadah puasa. Netranya memandangi selang impus yang tersambung ke tangan mungil gadis kecilnya, dan menyadari bahwa ini keempat kalinya pula ia mesti menolak permintaan darah dagingnya tersebut.

 

“Bunda minta maaf! Maira belum bisa ikut puasa tahun ini,” suaranya bergetar menahan isak.

 

“Bunda udah bilang gitu sejak Ramadhan 1441 hijriah. Dan sekarang sudah tahun 1444 hijriah. Kapan, Bunda? Kapan Maira bisa puasa lagi? Kapan Maira bisa ikut shalat bersama Bunda dan Ayah? Kapan Maira bisa ngaji bareng Bunda lagi? Umur Maira tiga belas, dan Maira sudah bosan hanya di tempat tidur saja! Maira mau seperti dulu lagi, Bunda! Maira mau sembuuuuh!”

Kalimat terakhir diteriakannya dengan segenap jiwa yang terluka. Pun cairan bening sekarang deras membasahi pipi tirusnya. Sederas air mata yang turut menghiasi mata perempuan yang dipanggilnya Bunda.

 

“Bunda minta maaf, Maira! Bunda minta maaf!” bisiknya di tengah isakan yang tak dapat terkendali.

Di kepala Maira kini berputar-putar hal yang baginya sudah jelas. Takdir tak adil padanya. Tak adil pada gadis kecil nan tulus ingin beribadah. Tak adil dengan gadis kecil yang hanya mau menunaikan puasa di bulan suci Ramadhan. Takdir, tak adil pada Maira yang Cuma ingin menghabiskan waktunya dengan beribadah bersama kedua orangtuanya.

***

 

                Tangisan gadis kecil itu tak lagi terdengar. Matanya kini terpejam, tampaknya sudah lelah melampiaskan kemarahannya. Perempuan jelita melihat napas putrinya yang teratur, menyelimutinya dengan perlahan. Membiarkan permata hatinya tidur dengan nyaman.

Ia berjalan keluar dari kamar, menghampiri seorang pria rupawan yang mengajaknya mendirikan shalat subuh bersama.

 

“Bagaimana Maira? Apa tadi ia minta untuk berpuasa juga?” pria itu bertanya pada makmumnya setelah keduanya melaksanakan ibadah dua rakaat.

Perempuan jelitanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

 

“Tidak ada salahnya kita menuruti keinginannya barang satu hari. Sejak umurnya sembilan, ia tidak pernah lagi puasa Ramadhan.”

 

“Jadi, menurutmu kita harus melepas impusnya selama sehari? Menghentikan obat-obatan yang masuk ke dalam tubuhnya?” sang perempuan menatap tajam suaminya.

Terang-terangan menunjukan keberatannya, pada usulan yang barusan dilontarkan pria yang telah menikahinya selama lima belas tahun itu.

Ayah dari Maira itu menghela napas panjang.

 

“Aku hanya tidak tega terus-terusan menolak permintaannya.”

 

“Aku pun demikian. Tapi kamu tau, kan, Yah? Maira sangat bergantung pada obat yang masuk dalam tubuhnya,” kini perempuan jelita itu kembali terisak. Suaminya mengusap lembut punggungnya.

 

“Yeah, aku tau. Kalau begitu, aku ingin lihat keadaannya sebentar.”

 

“Tapi dia sedang tidur, Yah. Jangan dibangunkan,” sang istri berkata lembut.

 

“Tidak akan kubangunkan. Aku hanya ingin mengecup dahinya.”

Pria itu pelan-pelan mendekati pembaringan putri sematawayangnya. Memandangi tubuh kurus Maira, dan tersenyum kecil melihat wajah permata hatinya damai dalam tidurnya.

Ia lantas mengecup dahi Maira, dan menyadari sesuatu. Tubuh gadiskecilnya lebih pucat serta lebih dingin. Dirabanya denyut jantung, tak didapatinya. Pria rupawan itu cepat-cepat memeriksa denyut nadinya, sekaligus meletakkan jari dibawah hidung putrinya, tak ada lagi. Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dari permata hatinya. Putri yang amat disayanginya kini telah berpulang, pada 1 Ramadhan 1444 Hijriah. Tanggal 23-03-2023, tepat di hari ulang tahun putrinya yang ke tiga belas tahun.

 

“Innalillahi wa inailaihi rajiun,” bisiknya, sembari sekuat tenaga menahan agar tak histeris.

Kini, takkan ada lagi putrinya yang bisa dilihatnya setiap hari. Kini, putrinya tak lagi didera kesakitan yang teramat. Kini, putrinya telah damai dalam tidur abadinya.

***

 

 

                Tamat....

  Penulis : Zhizie            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024