Kunci

Apa yang dapat dilakukan sebuah kunci bagi hidupmu? Bagaimana sekeping anak kunci dapat menyelesaikan konflik batinmu?

 

Di depanku, di atas meja kerja, tergeletak sekeping anak kunci. Anak kunci ini terpaut pada besi pengait gantungannya yang sudah tak utuh itu. Mungkin kamu langsung bertanya, apa istimewanya kisah sebuah anak kunci? Untuk menghindarkanmu dari rasa kecewa, sebaiknya berhentilah membaca tulisan ini sampai di sini! Buat kamu yang percaya pada dalil yang menyatakan “segala sesuatu, sesederhana apa pun, pasti punya makna”, sila ikuti tulisan ini sembari mempertajam empati dan imajinasimu.

Biar kuceritakan lebih dahulu asal mula kunci itu. Kunci itu adalah kunci sebuah kamar berukuran sekitar 5x4 meter di ssebuah wisma tempatku beristirahat setiap jam istirahat di kantor. Letaknya masih di lingkungan kantor, tidak jauh di belakang gedung tempatku bekerja sehari-hari.

Begitu kukatakan kepada kepala subbagian Tata Usaha waktu itu bahwa aku membutuhkan sebuah kamar di wisma, dia pun segera menyiapkannya. Percakapan itu terjadi pada hari pertama aku menginjakkan kaki di kantor baruku. Mungkin lantaran kami sudah saling kenal sebelumnya, banyak urusan terkait administrasiku yang dipermudah.

Setelah menginap satu malam di wisma, aku memutuskan untuk tidak akan menjadikan wisma itu sebagai tempat tinggal sehari-hari. Aku akan pulang-pergi setiap hari antara rumah dan kantor. Kebetulan, jarak tempuh antara rumah dan kantorku cukup dekat, jadi tidak terlampau menyusahkan. Sementara itu, wisma hanya akan menjadi tempatku beristirahat setiap siang. Aku tidak akan mengisahkan secara spesifik mengenai alasanku tidak berdomisili di wisma. Itu akan mengurangi citra lembaga. Nah, sila kalian tebak sendiri.

 

Aku bukan orang yang mudah bersosialisasi. Kalau kata iparku yang bule itu, “I’m not a sociable person.” Untuk mengucapkan selamat pagi/siang/sore/malam  saja perlu upaya ekstra keras. Percayalah, itu bukan lantaran aku arogan, melainkan lebih ke canggung. Mungkin lantaran sejak kecil kami (aku dan saudara-saudaraku) tidak dibiasakan melakukan hal itu. Kalaupun akhirnya kami mampu melakukannya, itu lebih karena apa yang kami saksikan dilakukan oleh orang-orang di luar sana dalam pergaulan sehari-hari. Kami belajar bahwa itu hal baik untuk dilakukan, maka kami pun berusaha menirunya. Saat bertemu dan ada hal yang perlu dibicarakan, kami akan langsung ke pokok persoalan tanpa lebih dahulu berbasa-basi meski sekadar berucap selamat pagi/siang/sore/malam.

 

Aku tidak ingin menyalahkan siapa pun, apalagi orang tuaku, atas hal ini. Setiap orang tua pasti punya kekurangan, bukan? Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Kalau ada yang berani menyalahkan mereka, sini, berhadapan denganku!

 

Hingga kuliah pun, mengucapkan terima kasih adalah hal janggal bagi organ verbaku. Suatu hari, aku tercengang akan ketidaksantunanku sendiri. Saat itu, aku baru saja dibantu oleh salah seorang teman kuliah. Ketika orang itu akan berlalu, sahabatkulah yang berujar terima kasih padanya. Sial! Mengapa bukan aku sendiri yang mengatakan itu? Alangkah keterlaluan sikapku itu! Mulai saat itu, aku bertekad untuk membiasakan diri mengucapkan terima kasih, maaf, dan tolong. Konon, tiga kata itu teramat sakti dalam mempermudah segala urusan.

 

Sejujurnya, tidak mudah memang ketika suatu hal merupakan kelaziman bagi banyak orang, sedangkan bagi seseorang bukan. Tidak terhitung berapa kali aku berkeringat dingin saat harus mengatakan atau melakukan sesuatu yang bagi orang lain merupakan hal receh.

Harus diakui, seringkali kecanggungan dalam berinteraksi itulah yang membuat hidup tidak mudah untukku. Termasuk ketika suatu hari, aku lupa membawa kunci kamarku ke kantor. Di satu sisi, aku tidak mau menyusahkan orang rumah untuk mengantarkan kunci itu ke kantor meski jaraknya tidak seberapa. Di sisi yang lain, aku sudah ngantuk berat dan ingin segera rebahan di kasur. Waktu itu aku belum paham menggunakan fasilitas antar/jemput barang secara daring. Kupaksa otakku berpikir keras mencari solusi yang aman. Sempat tebersit untuk bertanya ke penjaga wisma apakah dia menyimpan kunci cadangan kamarku. Namun, karena masih baru, aku belum berani berinteraksi akrab dengan siapa pun, termasuk si penjaga dan keluarganya yang juga tinggal di wisma itu.

“Selamat siang ....” Sebuah suara menyapaku lembut. Saat itu aku masih berdiri terpekur sambil berpikir keras di depan pintu kamar yang terkunci. Aku kenal suara itu. Itu suara istri si penjaga wisma. Ini dia kesempatan emasku! Aku tidak perlu repot-repot  mencarinya--yang kuyakini hanya memiliki 5 % kemungkinan untuk berhasil karena aku belum tahu namanya, di mana dia biasa menghabiskan waktu siang hari, dan berapa nomor handphone-nya. Ternyata dialah yang lebih dulu memunculkan diri.

“Siang juga,” balasku. “ibu, mohon maaf, sepertinya kunci saya ketinggalan di rumah. Apa ada kunci cadangannya?”

“Ada,” jawabnya lugas.

Puji Tuhan, ucapku dalam hati. Tak terlukiskan kelegaanku saat itu.

 

Hanya dalam hitungan detik, kamarku pun bisa terbuka. aku langsung mengunci kembali pintu kamar dari dalam, melepaskan sepatu, meletakkan tas dan handphone di meja, menyalakan kipas angin, menyalakan obat nyamuk elektrik, dan setengah melemparkan tubuh ke atas ranjang.

Mungkin peristiwa ini terlalu sepele bagi banyak orang. Mungkin konflik batin dalam memutuskan untuk meminta kunci cadangan itu rentan ditertawakan dan diherankan banyak orang. Namun, bagiku yang notabene tidak punya bakat dan keterampilan berkomunikasi yang cukup baik, itu sebuah konflik batin tingkat tinggi.

Akan tetapi, berkat peristiwa anak kunci itu, kini aku tidak begitu canggung lagi berinteraksi dengan penjaga wisma dan istrinya. Aku kerap berbagi kisah dan makanan dengan mereka. mereka pun sangat senang. Sebuah kemajuan pesat, bukan? Terima kasih, Kunciku!

 

 

Penulis: Iin Saputri 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024