Esensi NilaiCerpen OlehIkhwan Khanafi
“Le, hasil belum baik itu nggak apa-apa, yang penting kamu paham, dan yang paling utama apa yang kamu peroleh itu karena kejujuranmu.”
Pagi menyapa, Burung-burung bernyanyi riang. Tetes
embun yang membersihkan seluruh noda di hari sebelumnya menambah indahnya suasana.
Cerahnya hari ini juga dirasakan Arkhan Arif Pamungkas, yang akan memulai
masa-masa abu-putihnya.
“Don, ayo bareng, kita satu sekolah, kan?”
tanya Arkhan pada Doni teman sepondoknya.
Ya, di tahun ajaran baru ini, selain bersekolah
di Madrasah Al-Fatah, arkhan mulai mondok di pesantren Nurul Umam. Doni adalah
salah satu teman se kamar, sekaligus satu almamater dengannya.
Suasana sekolah Nampak ramai, mereka Nampak
masih malu-malu bertegur sapa. Wajar, karena ini adalah hari pertama masa
ta’aruf siswa madrasah. Arkhan berusaha untuk cepat berbaur dengan para teman
barunya.
“Aku harus bisa cepat akrap nih, agar tidak
kesulitan saat sudah pembelajaran,” gumam Arkhan.
Hari pertama berlangsung lancar, para guru
hanya memberikan materi fisi misi sekolah beserta pengenalan sekolah dan staf.
Memasuki hari kedua, ada yang sangat menarik bagi Arkhan dan teman-teman satu
angkatannya. Yaitu adanya materi inklusi, materi yang jarang ada di madrasah
lainnya. Mereka Nampak terkesima dengan apa yang disampaikan oleh kakak
tingkatnya yang merupakan siswa berkebutuhan khusus. Kekaguman siswa baru pun
semakin bertambah, Ketika petugas menampilkan sederet prestasi yang diperoleh
para peserta didik inklusi ini.
“Masyaallah, Subhanallah, keren banget, aku
kalah nih,” ungkapan-ungkapan yang Arkhan dengar dari peserta Matsama.
Matsama pun berakhir, para guru membagikan
kelas-kelas yang akan mereka tempuh selama tiga tahun. Arkhan masuk di MIPA 4,
sementara Doni di Kelas keagamaan.
“Wah … selamat ya, Don, kamu bisa masuk ke
kelas agama. Aku sebenarnya juga maul oh, tapi yan dak masalah sih masuk di
MIPA,”
“Iya, Khan, semakin mateng nih aku dengan
pelajaran agama. Di MTs dapet, eh di MA juga masuk agama, di pondok lagi. Auto
pusing dengan nahu shorof nih hehehe,” balas Doni.
Hari-hari berlangsung cepat, suasana dinamis di
sekolah pun menuntut Arkhan untuk cepat belajar dengan budaya baru yang ada.
Ya, Arkhan adalah salah satu anak yang mendapatkan biasiswa dari komonitas yang
menaungi anak-anak dari perbatasan yang kurang mampu. Beruntungnya suasana
Jogja begitu ramah, membuat para pelajar yang ada di kota Jogja nyaman.
“Arkhan, gimana suasana di sini, nyaman?” Tanya
bu Apri, wali kelas MIPA 4.
“Alhamdulillah, Bu, suasananya sangat nyaman,
teman-teman pun baik-baik semua.”
Tak terasa, setengah semester pun mendekat.
Seperti biasa di MA Al-Fatah melakukan penilaian tengah semester (PTS). Peserta
didik pun diminta untuk belajar lebih giat guna mempersiapkan diri untuk
menghadapi PTS.
“Bagaimana, Khan, siap mengikuti ujian?”
“Siaaap 86, Don,” balas Arkhan.
“Anak-anak, kalian sudah siap untuk mengikuti
ujian hari ini? Pastikan kalian sudah belajar dengan baik, Nak,” ujar bu Apri.
“Bismillah bu, belum, Buuu! Biasa aja, Bu,”
ragam jawaban dari siswa MIPA 4.
Ilmu tafsir menjadi maple pertama yang
diujikan. Tes ini cukup mudah bagi Arkhan, karena dia yang merupakan santri.
Namun tidak begitu dengan Andik, dia cukup kebingungan dengan beberapa soal
yang ada.
“Khan, spill jawaban dong!” ujar Andik.
Arkhan hanya mendeham.
“ck … . Susah nih minta jawaban sama anak alim,”
dengus Andik sarkas.
Ujian selanjutnya adalah Bahasa Jawa, maple
yang membuat Arkhan pasrah karena belum begitu menguasai.
“Ampun deh, kalau gini jawab sebisanya aja,”
ungkap Arkhan.
Sebelas hari telah terlewati, para siswa
Al-Fatah bisa sedikit lebih santai dalam belajar. Mereka tinggal menunggu hasil
yang akan dibagikan oleh wali kelas. Arkhan pun tak sabar menantikan hasil
ujiannya. Hanya ada satu hal yang membuat hatinya tak nyaman, Ketika dia
melihat cukup banyak teman-temannya yang mencontek, baik lewat Google maupun
chat.
“Gimana, Khan, oktimis meraih hasil baik dalam
PTS ini?”
“Kurang yakin, sih, Don. Ada beberapa maple
yang kurang aku kuasai.”
“Aku sih cukup oktimis , nggak yakin kan cukup
tanya di Google, kan. Mumpung ujiannya lewat Google Form,” ucap Doni.
“Astaghfirullah, kamu juga mencontek Don? Kok
bisa, gimana ceritannya?”
“Hmmm, gimana Ya, aku hanya nggak mau nilai rendah,
Khan. Kamu kan tahu dampak pandemic ini membuat banyak siswa mager dan
lebih suka yang instan, cari jawaban dari internet kan mudah.”
Dengus kekecewaan berhembus dari Arkhan.
Wajahnya Nampak merah menahan emosi. Jika Doni yang sudah mendapatkan didikan
pondok pun masih melakukan hal itu, apa lagi yang tidak mendalami agama? Arkhan
sekarang sadar, pakta integritas yang ada di Link Google form hanya
dianggap angin lalu.
“Anak-anak, hasil PTS kalian sudah Ibu
sampaikan ke orang tua, silakan bisa ditanyakan kepada bapak atau ibu kalian,”
ucap bu Apri di grup kelas.
Arkhan berdebar-debar saat membuka pesan dari
sang ibu, dia takut jika nilai yang diperolehnya mengecewakan orang yang telah
melahirkannya.
“Nak, nilai-nilaimu lumayan, kamu menempati peringkat
27. Tetap belajar yang rajin, ya. Walaupun kamu jauh di perantauan, do’a kami
tak pernah berkurang.”
Mata Arkhan gerimis, dia merasa gagal
membahagiakan keluarga terutama ayah dan ibunya yang telah memberi kepercayaan
penuh kepadanya untuk belajar di luar provinsi. Kegelisahannya coba dia adukan
kepada pak Hilal, sang Ustaz di pondok.
“Taz, saya harus bagaimana? Hasil ujian saya
kok jelek, ya? Padahal saya sudah berusaha untuk belajar maksimal, waktu ujian
juga saya pergunakan dengan baik, tapi kenapa nilai saya sangat rendah, ya?”
ungkap Arkhan pelan.
Arkhan pun menceritakan semua isi hatinya.
Dimulai dari sikap kurang sportif teman-temannya di madrasah, hasil nilai PTS,
sampai kepada perasaannya yang merasa gagal memberikan yang terbaik kepada keluarga.
Ustaz Hilal terharu dengan cerita Arkhan.
Sekaligus merasa prihatin dengan sikap oknum pelajar saat ini. Dia pun mencoba
menenangkan sang murid dengan memberikan sentuhan ke Pundak Arkhan.
“Masyaallah, Le, kamu yang sabar, ya,
ini baru permulaan, jadi kamu jangan khawatir. Masih banyak semester yang perlu
diperjuangkan. Kamu nggak perlu berkecil hati, nilai itu bukanlah segalanya.
Pak Hilal juga yakin kok, pasti orang tuamu bangga dengan hasil belajarmu.”
“Terima kasih, Taz, semoga saya tetap konsisten
dengan pendirian saya. Jujur, Taz, melihat teman-teman pada mencari jawaban di
internet membuat saya juga ingin melakukan hal yang sama,” Ungkap Arkhan.
“Tapi pasti saya ingat dengan perintah dari
para guru dan terutama kedua orang tua saya, yaitu harus jujur saat ujian. Saya
pun mengingat Hadis dari Rasulullah, (Wajib atas kamu berperilaku jujur,
karena jujur itu Bersama kebaikan, dan keduanya di Surga. Jauhkanlah dirimu
dari dusta, karena dusta itu Bersama
kedurhakaan, , dan keduanya di Neraka.) Saya mencoba untuk mengamalkan
Hadis itu,” lanjutnya.
“Subhanallah, Nak, di mata Bapak sikapmu
sangatlah baik, semoga istiqamah ya, Le. Jangan lakukan hal itu, Nak,
mencontek saat ujian, karena itu sama saja kamu bohong kepada banyak pihak.
Kebohongan kepada Allah, kepada para guru, pada orang tua, dan terutama kamu
pun tidak jujur kepada diri sendiri.”
Ucapan Ustaz Hilal itu bagaikan hadirnya salju
di padang pasir bagi Arkhan. Dia pun merasa bersyukur dengan prinsipnya.
Tekat Arkhan semakin menebal setelah mendengar
kalimat dari Ustaz Hilal: “Nilai itu bukanlah segalanya, apa guna nilai jika
esensi dari nilai itu tidak kamu dapatkan, yaitu berkah dari Allah dan juga
para guru.”
Setelah tengah semester satu yang mengecewakan,
di akhir semester Arkhan bisa tersenyum lebar, karena peringkatnya yang
menembus tiga belas besar. Yang menambah dia Bahagia adalah karena prinsip
jujurnya masih bisa dipertahankan. Arkhan hanya berharap semoga pemangku
kewajiban bisa meminimalisir kecurangan dari siswa saat ujian. Dan para siswa
bisa meneladani sifat-sifat terpuji dari Rasulullah Muhammad Shallall aahu
‘alaihi wasalam, yaitu Siddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah.
Sleman, 09 Oktober 2022.
Komentar