Belum Sesuai Saja

Di antara sedikit profesi yang pernah kujalani, inilah yang paling kubanggakan: editor. Pekerjaan itulah yang kurasa paling sesuai dengan bakat dan minatku di bidang literasi. Kurang lebih lima tahun bekerja sebagai editor sebuah majalah membuatku makin tahu banyak tentang kepenulisan dan kebahasaan. Dari situ pula banyak kukenal teman-teman yang punya minat yang sama denganku. Aku sering dimintai pendapat soal karya tulis mereka, baik fiksi maupun nonfiksi. Aku pun terus berupaya meningkatkan kemampuan menulisku dengan mengikuti berbagai kelas dan webinar tentang kepenulisan. Tidak hanya ilmu, jejaring pun makin luas. Sungguh sangat menyenangkan dan membanggakan.

 

Seiring berjalannya waktu, makin banyak pula pihak yang mengetahui kemampuanku ini. Tak ayal, di tempat kerjaku yang baru, aku pun ditugasi membuat berita tentang layanan lembaga tersebut. Suatu hari, aku membuat berita tentang layanan fisio terapi yang diberikan kepada salah seorang penerima manfaat penyandang cerebral palsy (CP). Sudah menjadi kebiasaanku bahwa jika membuat berita yang sifatnya bukan seremonial, jenis berita yang kupilih adalah feature alih-alih straight news. Menurutku feature adalah jenis berita yang lebih menantang sekaligus lebih menyenangkan. Bagaimana tidak? Jenis berita ini tidak menerapkan prinsip 5W+1H secara kaku sebagaimana pada straight news. Alurnya menyerupai karya fiksi. Meski begitu, apa yang dijabarkan di dalamnya melulu fakta dan realitas, bukan fiktif. Jadi, aku sangat senang memberinya istilah “karya jurnalistik sastrawi”.

 

Hampir sebulan kususun berita itu. Prosesnya memang cukup memakan banyak waktu karena pihak-pihak yang terlibat di dalam berita tersebut seringkali sulit kutemui untuk menggali informasi. Namun, akhirnya kelar juga berita itu kutulis, bahkan atas persetujuan atasan, tulisan itu kukirim ke bagian Humas kantor pusat di Jakarta. Maksudnya agar dimuat di website Kementerian Sosial.

 

Sejak tiga tahun terakhir, aku memang sering menulis di website tersebut. Bagian Humas kantor pusat sudah tidak asing dengan tulisanku, baik yang berupa straight news maupun feature. Sebenarnya masih banyak jenis berita selain kedua jenis tadi, tapi baru dua itu yang sering kutulis. Mungkin lebih tepatnya, baru kupahami, hehehe.

 

Nah, setelah tulisan tersebut kukirimkan, selang beberapa jam kemudian baru kuterima respons dari salah seorang staf Humas yang memang hampir selalu menjadi editor tulisanku yang masuk ke sana. Katanya, tulisanku akan diedit dulu dan baru bisa tayang keesokan harinya.

 

Aku pun menunggu. Kubaca lagi tulisan itu dengan saksama sembari mengira-ngira bagian mana yang mungkin akan dipangkas, paling tidak, dipertanyakan oleh editor tadi. Namun, rasanya tulisan ini nyaris sempurna sebagai sebuah feature. Dari judul, teras, hingga penutupnya menurutku sungguh luar biasa. Diam-diam kukagumi diriku sendiri. Benar-benar jumawa, ya?

 

Sebagai gambaran awal buat kalian, biarlah kuberikan sedikit beberan. Judul tulisan itu adalah “Dan Langit pun Mengalah”; terasnya menggunakan kutipan (quotes) buatan sendiri, yang berbunyi: “Ketika manusia berserah, semesta pun menyerah. Tatkala sekumpulan entitas bernas bersepakat, asa yang retak akan merekat”; paragraf penutupnya berbunyi demikian: “Tentu tidak ada yang ingin keceriaan Mishal meredup. Sebab itu, semua pihak yang terlibat diharapkan tetap solid, tekun, dan pantang jenuh demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi Mishal dan keluarganya. Di atas segalanya, mari menjalin kolaborasi dengan Sang Pencipta agar Mishal bisa terus menderaikan tawa ceria yang mengatasi kelamnya semesta; sang nenek terus diberi kesehatan, kekuatan, dan ketabahan dalam membesarkan sang cucu; orang tua dapat memberi kasih sayang sejati dan melimpah sebagaimana mestinya kepada anak spesial ini. Semoga kolaborasi apik antara ... dan ... memberikan layanan fisioterapi kepada penyandang cp tadi) mampu mengantarkan Mishal ke masa-masa indah penuh sukacita dalam hidupnya kelak.” Yang menggunakan tanda elipsis (...) dalam paragraf pentutup tadi adalah nama dua lembaga pemberi layanan kepada si penyandang CP yang kisahnya kuberitakan.

 

Sebuah tautan website berisi berita kuterima hari berikutnya. Itulah yang kutunggu sejak kemarin. Namun, ah, ada yang janggal. Judul berita yang menjadi bagian dari tautan itu jauh berbeda dengan judul tulisanku kemarin. Meski begitu, aku yakin bahwa ini adalah berita yang kukirim kemarin karena nama tokoh utamanya ada dalam judul berita tersebut. Ah, berarti staf Humas itu telah mengganti judulnya. Sempat tebersit kekecewaan dalam benakku. Judul yang sedemikian indah itu berganti dengan sebuah judul yang menurutku agak formal dan kurang estetis. Mungkin bagi orang lain, judul pengganti itu sudah pas. Akan tetapi, bagiku malah mengurangi sensasi uniknya, yang sesungguhnya kumaksudkan untuk menarik minat pembaca. Judul pengganti itu berbunyi: “Kemensos Pupuk Asa Mishal Jalani Terapi untuk Penyandang CP”. Sila pembaca menilai sendiri kedua judul itu.

 

Penasaran dengan isinya, aku pun mengklik tautan itu. Aaaah, rupanya isinya lebih mengecewakan. Kutipan di awal tulisan itu telah dihilangkan, paragraf penutupnya pun dipangkas dengan menghapus dua kalimat terakhir, yakni yang dimulai dengan frasa “Di atas segalanya”. Selain itu, ada beberapa kalimat dalam isi beritanya yang juga diganti dengan kalimat lain yang menurutku kurang sastrawi dibandingkan aslinya.

 

Sebagai penulisnya, tentu aku punya perspektif tentang tulisanku sendiri. Meski begitu, aku paham sepenuhnya bahwa pada sebuah media, editorlah yang berkuasa dalam hal penerbitan sebuah tulisan. Jadi, meski dengan rasa dongkol, aku bisa menerima realitas itu. Aku paham, setiap media pasti punya prinsip, nilai, dan budaya masing-masing yang harus dihormati oleh setiap penulis yang hendak menerbitkan tulisannya di sana.

Maka aku ingin menasihati teman-teman yang bermaksud mengirimkan tulisan ke suatu media. Sebelum memutuskan mengirim tulisan, hendaklah kalian baca dulu tulisan-tulisan lain yang telah diterbitkan di sana agar memperoleh gambaran tentang prinsip, nilai, dan kebiasaan yang berlaku di media tersebut. Sebab, bisa jadi tulisan kita sebenarnya memang bagus, tapi lantaran tidak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di sana, akhirnya tulisan itu ditolak.

Dalam kaitannya dengan naskah berita yang kuceritakan tadi, jujur, memang ada unsur spekulasi dalam keputusanku mengirimkannya. Bukankah kukatakan tadi, tulisan-tulisanku sudah sering dimuat di sana?

 Maka sejatinya aku hendak mencoba apakah tulisan dengan model seperti ini juga dapat diterima atau tidak. Naskah beritaku kali ini memang disesaki diksi sastrawi, tidak seperti tulisan-tulisanku sebelumnya yang, meski dibuat dalam bentuk feature juga, sensasi sastranya belum dominan. Judulnya saja masih menggunakan nama lembaga, tidak seperti judul beritaku kali ini yang dari judulnya pun sudah terkesan “nyastra”. Mungkin menurut mereka, judul “Dan Langit pun Mengalah” sangat tidak formal untuk dimuat di website milik pemerintah. Itu sangat wajar, sih. Maka aku bisa memahami keputusan mereka tentang tulisanku. Bukannya tidak berkualitas, belum sesuai saja.



Penulis: 

Iin Saputri


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024