Ukiran Kisah di Balik Serpihan Reglet
Namaku Zukhrufafu Aida, kerap dipanggil Ai. Aku lahir di kota yang dijuluki kota sejuta bunga (Magelang). Lima belas Juli 2003 adalah hari kelahiranku.
Aku dibesarkan dalam keluarga yang hidup sederhana. Bapak bekerja sebagai petani sekaligus guru honorer di salah satu sekolah swasta, sedangkan ibu seorang petani yang sangat rajin dan tekun bekerja demi anak-anak yang dicintainya.
Pertengahan tahun 2014, aku pindah ke kota pelajar, Yogyakarta. Di sana aku menempuh pendidikan di sekolah khusus untuk tunanetra. Jarak rumah dan sekolah yang terlalu jauh mengharuskanku hidup mandiri di asrama pada usia yang sangat muda. Di sinilah aku mengenal kehidupan yang sesungguhnya.
Usai kurang lebih enam tahun menempuh pendidikan dasar dan menengah di sekolah khusus, aku melanjutkan ke MAN 2 Sleman, yang merupakan lembaga pendidikan inklusi pertama di Indonesia.
Enam tahun di sekolah khusus, ada sebuah kejadian masa kecil yang sangat mengesankan hingga saat ini. Tragedi yang sangat membuatku malu jika mengingatnya kembali. Saat itu aku hanyalah anak kecil berusia 11 tahun yang sangat sering di-bully oleh teman sekelasku.
Semua itu terjadi saat aku duduk di kelas VI SD. Di suatu siang yang cerah, aku dan teman-teman sedang berada di kelas. Guru kami memberikan sebuah topik menarik yang menjadikan kami berdebat satu sama lain. Kami saling mengeluarkan argumen yang tidak dapat diganggu gugat.
Ketika perdebatan mulai memanas, salah seorang teman melempar reglet yang sudah patah ke arahku. Ia merasa kesal denganku. Aku pun marah, lalu kembali melemparinya dengan riglet yang tadi. Namun, aku kalah banyak pendukung. Semua temanku menyerang dengan patahan riglet yang lainnya. Aku semakin marah dan pertengkaran itu kian menjadi. Bahkan pak guru yang sedang mengajar di jam tersebut juga tidak mampu menghentikan. Mereka saling melempar riglet sampai reglet-reglet yang kebanyakan memang sudah patah itu hancur berkeping-keping. Aku yang tak mau kalah pun terus menyerang kanan-kiri tiada henti dengan kertas ataupun patahan reglet. Alhasil, tercipta kegaduhan menjurus kerusuhan. Suasana kelasku saat itu tampak kacau-balau. Banyak sekali sampah bertebaran, hasil pertengkaran.
Mereka semua berhenti menyerangku saat aku terkena lemparan reglet tepat di bagian mata. Layaknya anak-anak, aku menangis sekencang-kencangnya akibat kesakitan. Dengan sisa penglihatanku, dapat kulihat wajah-wajah puas mereka. Seolah mereka berhasil menyelesaikan misi untuk membuatku menangis.
Aku berlari ke luar kelas sambil menangis sejadi-jadinya. Tidak peduli belasan pasang mata menatapku aneh dan penuh keheranan. Hari itu, kelasku menjadi tontonan bagi siswa dari kelas lain. Mereka saling berbisik mengenai kegaduhan yang terjadi. Aku terus menangis dan berteriak menyalahkan teman-temanku. Tanpa rasa malu, tangisku semakin menjadi-jadi saat melihat pujaan hati tepat berada di depanku. Berharap dia akan menolongku, ternyata ia tak acuh dan tak peduli.
Sakit hati, aku berlari cepat menuruni tangga menuju kamar asrama, masih dengan tangis yang meluap-luap. Bagiku, hari itu merupakan hari yang sial. Dunia sedang tidak berpihak padaku. Namun, hal itulah yang menjadikanku tidak akan pernah lupa pada mereka, orang-orang yang telah bersamaku selama enam tahun yang sangat berharga. Bagaimanapun, I Love you friends.
Penulis: Zukhrufafu Aida
Editor: Iin Saputri
Komentar
Posting Komentar