Teringat Origin, Begini Harapan Kami tentang Museum di Indonesia
Sejak 2015, tanggal 12 Oktober diperingati sebagai Hari Museum Nasional. Tanggal itu dipilih oleh Musyawarah Museum se-Indonesia (MMI) karena bertepatan dengan MMI pertama yang diselenggarakan pada 12-14 Oktober 1961 di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Omong-omong soal museum, saya teringat salah satu novel favorit saya, “Origin” karya Dan Brown. Peristiwa utama dalam cerita itu berlangsung di sebuah museum yang menurut saya sangat canggih. Terlepas dari kemungkinan bahwa itu hanya fiksi, menurut saya museum itu sangat menakjubkan, terutama dengan teknologi panduan audionya. Setiap pengunjung akan diberi headset yang disesuaikan dengan identitas masing-masing. Headset itu akan mengeluarkan suara yang berfungsi memandu pengunjung selama berada di dalam museum.
Ketika pengunjung diketahui menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari, maka suara yang dihasilkan oleh headset tersebut berbahasa dan beraksen Inggris. Suara itu akan menjelaskan secara detail setiap benda yang sedang diamati oleh pengunjung.
Mendadak saya membayangkan bagaimana jika teknologi semacam itu diterapkan di museum-museum tanah air. Sungguh impian yang entah kapan dapat terwujud. Sejauh ini, saya dan teman-teman sesama disabilitas netra merasa tidak begitu nyaman ketika berkunjung ke museum. Tidak semua benda dapat diakses, terutama yang diletakkan di dalam lemari kaca. Selain itu, tidak ada petugas yang khusus mendampingi pengunjung dengan disabilitas netra.
Selama ini, seringnya kami datang ke museum bersama teman-teman dan guru-guru sehingga merekalah yang berusaha menjelaskan setiap benda koleksi museum yang kami hampiri. saya tidak meremehkan kemampuan mereka, tetapi saya yakin, tentu akan lebih akurat dan lengkap jika yang melakukannya adalah petugas museum yang telah dibekali pengetahuan memadai tentang seluruh benda koleksi di museum itu.
Pengalaman tiap disabilitas netra dengan museum tentu berbeda-beda. Ada yang merasa bangga dan bahagia karena bisa mengetahui banyak hal terkait sejarah saat masuk ke museum. Meski tidak semua benda dapat diraba, setidaknya ada hal-hal baru yang bisa mereka peroleh dari kunjungan ke museum. Bagi yang kecewa, tentu akan berpikir sebaliknya.
“Daripada ke musieum, mending baca buku saja kalau mau belajar tentang sejarah.” Demikian ujar salah seorang teman ketika menceritakan pengalamannya berkunjung ke museum dan mendapati bahwa banyak benda yang tidak boleh dipegang, yakni yang diletakkan di dalam etalase.
Tak hanya soal aksesibilitas, sejumlah teman yang berbagi kisah tentang kunjungannya ke museum juga menyarankan agar tiap museum ditata dengan suasana modern agar tidak terkesan menyeramkan atau kuno. Namun, ada juga yang berkisah bahwa museum yang pernah dia datangi sudah sangat kekinian suasananya dengan adanya rumah-rumah penduduk serta kafe-kafe yang bertebaran di sekitar museum. “Makanya aku nggak merasa kayak lagi jalan-jalan di kerajaan.”
Sekelumit pengalaman teman-teman ini saya rasa bisa mewakili sesama disabilitas netra tentang museum.
Semoga harapan kami tentang museum yang aksesibel dapat segera terwujud, minimal dengan tersedianya petugas yang bertanggung jawab mendampingi pengunjung disabilitas, terkhusus disabilitas netra. Kami juga berharap pengelola museum dapat bekerja sama dengan lembaga literasi braille untuk menyediakan aksesibilitas berupa tulisan braille di etalase sehingga para disabilitas netra setidaknya dapat mengetahui secara mandiri nama benda yang ada di dalam etalase tersebut. Teknologi audio guide juga bisa diupayakan sejak sekarang karena itu akan lebih inklusif, artinya, bisa dinikmati semua pengunjung tanpa kecuali, tanpa diskriminasi .
Penulis: Iin Saputri
Editor: Iin Saputri
Wah, novel Origin juga novel favorite saya.
BalasHapuspenggemarnya Winston, ya?
HapusHadir kak.
BalasHapus