Rumah-rumahan Sampah
Halo! Yang
sedang berbicara pada kalian ini adalah aku, seorang gadis 20 tahun yang
berasal dari kota lima dimensi. Emmm, atau kota yang mendapat julukan Mutiara
Khatulistiwa. Namaku Siti Azizah, sering dipanggil Azizah, Zhizie, atau Sasa. Nama
yang terakhir itu adalah nama panggilan dari orang tuaku semasa aku kanak-kanak.
Ngomong punya ngomong, kedua orangtuaku bekerja sebagai pegawai negeri sipil di
pemerintahan daerah. Jadi, dalam ihwal keuangan, kebutuhan sehari-hariku dan
kedua adikku dapat tercukupi, termasuk pendidikan yang amat layak.
Aku kini
duduk di bangku kuliah, telah memasuki tahun ketiga di universitas yang mempunyai
bentuk bangunan seperti kapal pinisi. Namun, bukan tentang itu yang akan aku
ceritakan dalam tulisan ini, melainkan masa kecilku yang menyenangkan.
Seperti
yang kukatakan tadi, kedua orangtuaku adalah pekerja kantoran, bekerja dari
senin hingga jumat, dari pagi sampai sore. Maka dari itu, aku dan kedua adikku
terpaksa dititipkan ke rumah Bibi, dan akan dijemput ketika mereka pulang
kantor.
Berbulan-bulan
berlalu, aku pun banyak berkenalan dengan anak-anak sebayaku yang tinggal di sekitar
rumah Bibiku itu. Berhubung rumah Bibi berada di sebuah desa yang tak terlalu
jauh dari rumahku di kota, tempat bermainku dan teman-teman adalah kebun,
sawah, atau tanah lapang. Yup! Walaupun sedari lahir aku tinggal di perkotaan,
sewaktu kecil aku pernah merasakan bagaimana serunya bermain di desa bersama
anak-anak sekitar. Berkejar-kejaran, terjatuh di lumpur, menerbangkan
layang-layang, bermain kelereng, petak umpet, lompat karet, memanjat pohon, dan
membuat rumah-rumahan dari barang-barang tak terpakai. Yeah, dari semua hal
yang terjadi saat masa kecilku, membuat rumah-rumahan dari benda-benda tak
terpakailah yang paling berkesan. Entah aku dan teman-teman yang terlalu
kreatif, atau karena mereka dibesarkan dalam keluarga kurang mampu sehingga tak pernah dibelikan mainan rumah-rumahan, jadilah waktu itu kami
sering datang ke tempat pembuangan sampah rumahan, di tengah tanah lapang.
Ketika itu usiaku enam atau tujuh tahun,
jadi belum mengerti kalau itu adalah tempat pembuangan sampah. Intinya,
sesampai di sana, kami dengan senang mengambil apa saja benda-benda yang masih
bagus, seperti kardus-kardus dengan pelbagai ukuran, botol-botol bekas syampo
atau body lotion, bekas wadah make-up, karung-karung yang masih bisa di pakai, serta
barang-barang plastik yang kami pikir bisa digunakan. Semua barang tadi kami
bawa ke bawah pohon besar tempat kami sering bermain, lalu mulai membangun
rumah-rumahan. Kardus-kardus besar sebagai dindingnya, karung-karung jadi
alasnya, untuk atap ada daun-daun pohon yang rimbun, lalu kotak-kotak kardus
yang lebih kecil menjadi meja, serta bekas wadah make-up dan botol-botol
menjadi peralatan masak. Lalu, kami akan bermain hingga sore menjelang. Saat
matahari berada di barat, rumah-rumahan tersebut kami benahi kembali, mengumpulkan
semuanya ke dalam karung, lantas meninggalkan karung itu di bawah pohon.
Keesokkan harinya, kami akan kembali dan membangun rumah itu.
Sepulang ke
rumah Bibi usai bermain, aku akan disuruh mandi karena tak lama kemudian orangtuaku akan datang
menjemput tanpa mengetahui anaknya habis bermain di tempat sampah dan membuat
rumah-rumahan dari barang-barang tersebut.
Dua tahun
aku dititipkan di rumah Bibi, selama itu banyak permainan-permainan tradisional
yang kumainkan bersama teman-teman. Namun, saat menginjak kelas 3 SD, tak lagi aku
dititipkan di sana. Lingkungan bermainku pun berubah. Aku mulai bermain dengan
anak-anak di sekitar kompleks rumahku. Bermain sepeda, petak umpet, enggrang,
congklak, menerbangkan layang-layang, bermain hulahoop, boneka, masak-masakan, dan
segunung permainan anak-anak lainnya. Perbedaannya Cuma satu. Jika di desa aku
lebih banyak bermain di luar ruangan, bermain dengan teman-teman di kompleks lazimnya kami lakukan di rumahku atau di rumah mereka. Jadi, tak membuat kami harus membangun
rumah-rumahan sendiri dari barang-barang bekas.
Jujur,
setelah menuliskan ini, aku jadi rindu dengan teman-temanku yang di desa.
Seandainya dapat bertemu mereka lagi, ingin rasanya mengenang kembali masa-masa
kami sering mengumpulkan sampah untuk membangun rumah-rumahan itu. Konyol
memang. Namun, itulah masa kecilku yang menyenangkan.
Penulis: Zhizie
Editor: Iin Saputri
Komentar
Posting Komentar