Cerpen: Tinta Darah

Aku duduk tegak di atas tempat tidurku. Mimpi buruk yang baru saja menyentakanku dari tidur nyenyakku membuat napasku terengah-engah. Keringat dingin membanjiri tubuhku. Mimpi buruk itu terasa seperti nyata. Aku seperti tidak sedang tidur. Selimut yang tadi membungkus tubuhku sudah melesat jauh ke sudut ranjang. Aku tidak ingat kapan aku menendangnya. Yang pasti mimpi buruk itu sudah membuatku nyaris mati.

Dalam mimpi burukku tadi, aku tidak sedang berada di rumah atau sekolah. Aku seperti ada di sebuah taman bunga yang begitu indah. Sayang taman bunga yang begitu cantik itu terasa asing bagiku. Udara yang berembus menerpa leher dan wajahku terasa sangat dingin dan tajam. Di sana aku tidak sendiri. Aku sedang duduk berdua dengan seorang lelaki asing namun kami tidak saling bicara. Lelaki yang tidak kutahu siapa namanya itu sedang asyik membaca sebuah buku tebal di pangkuannya. Sepintas lalu sepertinya buku itu adalah kitab kuno. Yang membuatku tertarik memperhatikan lelaki itu adalah rambut pirangnya yang seolah bersinar di bawah cahaya matahari sore. Aku sedang berpikir keras, di mana aku sekarang? Bagaimana mungkin aku bisa duduk berdua saja dengan orang asing begini? Wajahnya yang seolah tak dialiri darah tertuju pada buku di atas pangkuannya. Dari samping, aku tak bisa melihat matanya. Sebab, ia memakai kacamata tebal. Sepersekian detik saja ia tidak melirikku. Apa ia tidak bisa melihatku? Tetapi rasanya mustahil. Sebab jarak kami sangat dekat. Dari tempatku duduk saja aku seperti bisa mencium wangi rambutnya. Bahkan aroma tubuhnya yang maskulin terasa menyatu dengan udara yang sedang kuhirup.

Beberapa saat kemudian, aku melihat langit menjadi gelap secara tiba-tiba. Sekelilingku juga ikut menjadi gelap. Tak ada setitik cahaya pun yang membantuku untuk melihat sekelilingku. Tiba-tiba aku merasa ingin pulang. Aku berdiri dan akan melangkah meninggalkan bangku taman ketika sebuah tangan mencekal pergelangan tanganku. Cengkramannya yang begitu kuat membuatku mengerang dan menghadap ke arah lelaki tadi. Tetapi apa yang terjadi? Di tempat lelaki asing tadi duduk bukan lagi orang yang sama. Aku tak tahu itu manusia atau monster. Tubuhnya tinggi besar. Wajahnya yang penuh luka gores mengeluarkan nanah dan belatung. Matanya yang sebesar bola lampu di kamarku mengeluarkan cahaya setajam laser. Yang mengerikan, sepasang mata itu sedang mengamatiku seperti pemburu yang sedang menimbang-nimbang akan diapakan hasil buruannya.

"Kau siapa?" tanyaku dengan suara lirih.

Sepasang mata itu mengerjap-ngerjap, lalu mulutnya yang menyerupai moncong babi mengeluarkan tawa terbahak-bahak yang memekakan telinga. Gigi-giginya yang tajam tampak berkilat-kilat seperti ujung belati. "Aku adalah bagian jiwamu. Aku yang akan menemanimu. Aku yang akan membuatmu kuat. Percayalah, aku akan membuat semua dendammu terbalas."

"Kau ini bicara apa, sih? Dendam? Aku tak punya dendam. Jadi lepaskan aku!"

Aku berusaha melepaskan cengkraman makhluk aneh itu di tanganku. Akan tetapi kuku-kukunya yang runcing menekan kuat pergelanganku. Tapi aku tak mau menyerah. Sekuat tenaga aku berteriak meminta bantuan. Akan tetapi suaraku sangat kecil. Sampai beberapa saat kemudian tak ada yang datang menolongku. Dari kejauhan aku bisa mendengar suara yang meneriakan bahwa ini mimpi. Aku harus bangun. Aku pun tersentak! Ini mimpi! Aku harus bangun! Namun, bagaimana caranya?

Tiba-tiba aku teringat sesuatu... Ayat qursi! Dengan terbata-bata aku membaca penggalan surat Al-Baqarah itu. Ajaib! Cengkraman monster itu di lenganku mengendur dengan perlahan. Matanya yang bercahaya pun meredup. Tubuh besarnya mengecil hingga kemudian hilang. Barulah aku terbangun dengan napas yang nyaris terputus.

Kuambil air minum, lalu dalam sekali tenggak air itu pun tandas. Kemudian kulirik jam dinding. Ternyata masih pukul 01.20. Pertanda apakah mimpiku tadi? Semoga bukan sesuatu yang buruk. Bagi sebagian orang, mimpi hanyalah sekadar bunga tidur. Akan tetapi bagiku mimpi adalah pertanda dari sebuah hal besar. Hanya, aku tidak percaya dengan orang yang bisa meramalkan makna sebuah mimpi. Mengapa? Karena untukku, mimpi yang sama pasti memiliki makna yang berbeda. Yang tahu akan masa depan itu hanya Allah swt. dan itu mutlak.

Kuambil selimutku yang teronggok di sudut ranjang. Dengan membaca bismillahirrahmanirrahim, kurebahkan kembali tubuhku. Semoga tak ada lagi mimpi buruk macam itu. Aku sungguh takut.

***

Aku terbangun ketika alarm di hp-ku melengking-lengking memekakan telinga. Itu artinya sudah pukul 04.30. Mau tak mau aku harus bangun dan pergi mandi.

 

Aku turun dari ranjang dan memakai sendalku lalu keluar kamar dengan membawa peralatan mandi. Kamar mandi di rumahku hanya ada satu dan terletak di salah satu sudut dapur. Jadi setiap akan ke kamar mandi, aku pasti bertemu Bunda yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.

"Hallo, Bun," sapaku dari ambang pintu dapur.

Bunda mengangkat wajah dari kesibukannya dan melempar senyum yang begitu hangat padaku. "Hai, Tasya," balasnya tak kalah hangat dari senyumnya. "Bagaimana tidurmu? Nyenyak, ‘kan?"

Aku tersenyum lalu mengangguk. Rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan mimpi burukku semalam pada Bunda.

"Tetapi kenapa kamu terlihat begitu kacau, Sayang? Lihatlah di cermin, rambutmu acak-acakan, wajahmu kusut dan matamu memerah seperti kurang tidur! Apakah kamu begadang, atau mimpi buruk?"

Selalu begini. Insting Bunda yang terlalu kuat membuatku tidak bisa berbohong. Terkadang aku merasa tidak nyaman. Di mataku, Bunda seperti seorang pembaca yang bisa membaca diriku dengan begitu mudah. Namun terkadang aku begitu sangat bersyukur memiliki seorang Bunda yang peduli dan mengerti diriku. Jadi, aku tak perlu bersusah payah merangkai kata untuk mulai bercerita tentang apa yang tengah kuhadapi padanya. Bunda seperti sapam yang membukakan gerbang sangat lebar agar aku mudah menuangkan isi kepalaku padanya. Tapi kali ini tidak! Bunda belum saatnya tahu. Siapa tahu ini hanya mimpi biasa.

"Entahlah. Mungkin karena semalam aku terbangun, lalu baru agak lama kemudian bisa tidur lagi," sahutku asal sambil mengangkat bahu. Agar tidak mendapat serangan lagi dari bunda, aku segera melesat masuk ke dalam kamar mandi. Kunyalakan kran dan aku pura-pura asyik bernyanyi. Padahal, kepalaku sedang memikirkan mimpiku semalam.

Sebelum aku membasuh tubuhku dengan air, aku memandang pantulan wajahku di cermin. Penampilanku persis seperti yang digambarkan Bunda. Rambutku kusut dan mataku memerah. Aku terlihat seperti orang yang kurang tidur. Belum lagi lingkaran hitam di bawah mataku. Ini sungguh mengganggu penampilanku. Parahnya lagi, lingkaran hitam ini tak bisa dihilangkan hanya dengan menggunakan sabun.

Selesai mandi, aku segera kembali ke kamar. Kuganti baju tidurku dengan seragam sekolah. Lalu aku membantu bunda mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi aku tidak mau yang bersangkutan dengan masak memasak. Aku sudah memakai seragam sekolah. Rasanya tidak nyaman jika pergi ke sekolah dengan baju yang bau kompor. Akan tetapi jangan salah sangka! Biasanya aku membantu bunda di dapur. Tapi itu jika aku belum mengganti bajuku dengan seragam sekolah. Berhubung pagi ini aku sedang menghindari pertanyaan-pertanyaan maut bunda, jadi aku libur untuk sementara membantu bunda di dapur. Kukerjakan pekerjaan rumah yang lain seperti menyapu, mengepel, dan menyiram tanaman kesayangan Bunda.

 

Pukul 06.00, rumah sudah bersih dan wangi. Tanaman kesayangan bunda juga sudah kusiram. Aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

Aku duduk di depan meja belajarku yang merangkap sebagai meja rias. Kupandangi bayanganku di cermin. Sekarang setidaknya lebih baik. Hanya lingkaran hitam di bawah mataku yang sedikit mengganggu. Aku pergi ke dapur dan mengambil es batu dari dalam kulkas. Bunda tidak bertanya untuk apa aku mengambil es batu. Sepertinya Bunda sudah tahu apa yang akan aku lakukan. Aku meletakan es batu itu di atas meja. Tetapi aku butuh tisu agar air es itu tidak membasahi seragam sekolahku. Jadi aku batal duduk dan mengambil tas sekolahku di atas rak buku. Mula-mula aku berniat mengambil tisu, tapi secarik kertas yang pertama kali tergapai tanganku membuatku urung mengambil tisu. Seingatku, aku tak pernah menyelipkan carikan kertas ke dalam tas. Karena penasaran, kukeluarkan secarik kertas itu dari dalam tas. Tintanya yang berwarna merah membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Aku langsung pucat pasi. Isinya sama persis dengan apa yang monster semalam itu ucapkan.

"Aku adalah bagian jiwamu. Aku yang akan menemanimu. Aku yang akan membuatmu kuat. Percayalah, aku akan membuat semua dendammu terbalas."

Aku segera merobek-robek kertas itu dan membuangnya ke tong sampah yang ada di belakang pintu. Yang semalam itu bukan mimpi biasa, melainkan teror. Tapi siapa yang melakukannya? Aku tak punya dendam pada siapapun. Jadi, untuk apa makhluk abstrak itu mengatakan akan membantuku membalaskan dendam?

Segera kuaduk-aduk isi tasku dan semenit kemudian aku sudah mendapatkan benda yang aku cari. Aku kembali duduk di kursi dan mulai sibuk mengompres lingkaran hitam di bawah mataku. Tetapi hatiku tak bisa tenang. Seribu macam pertanyaan menggumpal di hatiku.

***

Seperti biasa, aku adalah orang pertama yang masuk kelas. Beberapa teman sekelasku hobi terlambat. Bagi mereka hukuman adalah sebuah santapan yang gurih. Aku langsung meletakan tasku di atas meja. Tapi tunggu! Tulisan apa itu di papan tulis? Dengan tintah merah sama seperti tulisan di secarik kertas misterius di dalam tasku tadi. Lalu, isinya? Tidak! Isinya sama persis. Aku jatuh terduduk di lantai. Kakiku seperti tak mampu menopang berat tubuhku. Kusapukan telapak tanganku ke wajah, berharap tulisan itu hanya ilusiku saja. Tapi tidak! Tulisan itu masih ada. Dengan takut-takut aku berdiri. Kusapukan ujung jari jemariku ke tinta merah itu. Kegilaan apa lagi ini? Tinta merah itu ternyata bukan tinta. Cairan merah yang membentuk tulisan itu melekat di ujung jari jemariku. Baunya amis. Ini darah! Apakah tinta merah yang tadi itu juga darah? Segera kuambil tisu basah dari dalam tasku. Sebisa mungkin kuhapus darah itu dari papan tulis. Siapa kiranya yang melakukan hal ini padaku? Keinginan pribadi setan itu atau ada pihak yang meminta agar setan itu meneror hidupku?

Aku kembali ke bangkuku. Untuk mengalihkan perhatianku dari apa yang baru saja terjadi, aku membuka buku matematikaku. Kusibukan pikiranku dengan memecahkan soal-soal Matematika.

Tak lama kemudian, teman-teman sekelasku datang.

"Hai, Sya!"

Aku mengangkat wajah dan melempar senyum terbaikku pada Alika, teman sebangkuku. "Hai, Al."

Alika meletakan tasnya di bawah bangku setelah lebih dulu mengeluarkan buku Matematikanya dari dalam tasnya. Aku juga ikut-ikutan memasukan tasku ke bawah bangku. Lalu bersama Alika aku memecahkan soal-soal yang ada di buku Matematika.

***

Aku nyaris gila karena teror makhluk abstrak itu. Ia tak hanya menerorku di dalam mimpi tetapi juga di kehidupanku sehari-hari dengan menggunakan pesan-pesannya yang mengerikan. Yang membuatku bergidik ngeri, makhluk itu selalu menggunakan darah sebagai tinta.

 

Dampak teror itu sangat luar biasa. Aku berubah jadi pendiam dan kurang fokus dengan apa yang sedang kukerjakan. Banyak yang bertanya penyebab dari perubahan diriku yang sangat drastis ini, tetapi aku bingung harus memulai ceritaku dari mana. Sudah tiga bulan hidupku diteror oleh makhluk abstrak itu. Pencarianku tentang asal muasal makhluk abstrak yang terkadang berwujud monster itu juga belum mendapatkan hasil. Tidak ada yang bersikap mencurigakan sehingga pantas aku jadikan terdakwa. Teman-temanku tetap seperti biasa. Mereka yang ramah tetap ramah dan yang tak acuh tetap tak acuh. Pendek kata, semua masih berjalan sebagaimana biasa.

Malam ini aku sengaja tak tidur. Aku ingin tahu, apakah makhluk abstrak itu berani menampakan wujudnya padaku? Selama ini ia datang di dalam mimpiku saja. Sementara pesan-pesan gilanya terus mengikis mentalku. Aku harus menyudahi teror ini. Apapun yang terjadi, semuanya harus berakhir malam ini. Tadi sore, kudatangi rumah Kiai Mansur, salah satu ulamah termasyur di kotaku. Satu-satunya orang yang tahu tentang teror gaib ini hanya beliau. Kuminta agar beliau datang bertamu ke rumahku. Agar Ayah dan Bunda tidak bertanya banyak, kuminta Kiai Mansur mengajak Ayah bercakap-cakap tentang apa saja. Baru ketika makhluk abstrak itu datang, Kiai Mansur boleh berterus terang pada orangtuaku. Jujur saja aku bingung menjelaskan perkara ini pada mereka.

Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Agar tidak tertidur, aku menyibukan diri dengan bermain game di hp. Jendela kamarku sengaja kubuka lebar-lebar agar angin masuk.

Setelah letih bermain game, kuletakan hp-ku di atas nakas. Kulirik jam dinding kamarku. Ternyata jam 00.18. Aku bersiap menunggu kemungkinan yang akan terjadi. Sebuah daun lebar melayang masuk ke dalam kamar dan jatuh di atas perutku. Aku duduk dan bersandar ke dinding. Lagi-lagi tinta merah yang sama. Kali ini pesannya berbeda.

"Tak ada yang mampu memisahkan kita! Aku bagian dari jiwamu. Aku terlahir dari amarah dan kebencian yang tumbuh di hatimu!"

Aku turun dari ranjang dengan mata nanar. Aku memandang ke luar jendela.

"Hai, kamu! Siapa pun kamu, entah terlahir dari mana asalmu, jangan jadi pengecut! Bagaimana kamu akan membantuku membalaskan dendam jika kamu tak pernah menampakan diri!"

Aku terdiam menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Angin yang sedingin dan setajam angin yang pernah ada di dalam mimpiku berembus kuat menerpa tubuhku. Angin itu membuat kulitku terasa perih. Namun, aku tak mau menyerah sekarang. Pertunjukan belum dimulai, mana mungkin aku kalah? Ya, Allah, lindungilah aku yang kecil dan tak berdaya ini! Aroma darah yang begitu kuat menyatu dengan udara yang berembus. Perutku seperti bergolak.

"Makhluk abstrak, ayo, tunjukan wujudmu! Jangan hanya mengirimkan aromamu yang menjijikan!"

Bau amis itu perlahan berganti. Kali ini bau bangkai. Baunya sangat menyengat. Sepertinya bau ini tidak hanya menyerang indra penciumanku tetapi juga ayah yang sedang bercakap-cakap dengan Kiai Mansur. Dari sini aku mendengar suara Ayah yang batuk-batuk menahan mual.

"Oh, aku tahu sekarang. Ternyata kamu penakut. Kamu hanya berani mengirimkan bau-bau tak sedap. Kalau begini, bagaimana mungkin aku mempercayakan dendamku pada monster kerdil macam kamu!"

Seekor laron masuk dari jendela. Laron itu menggelepar-gelepar sebentar di lantai lalu berubah menjadi monster seperti yang sering kulihat di dalam mimpi. Mula-mula ia kecil. Namun, perlahan tapi pasti monster itu menjadi besar. Kuku-kuku hitamnya sangat runcing dan tajam, begitupun dengan taringnya. Tubuhnya tak hanya besar tapi jelek. Ada banyak luka yang mengeluarkan nanah dan menjadi rumah bagi ulat dan belatung. Tak cukup hanya di situ, baunya bukan hanya seperti bangkai tikus tetapi lebih daripada itu. Sulit rasanya mendeskripsikan aroma yang menguar dari tubuh makhluk jelek di hadapanku ini.

"Apa yang kau mau, Anak manis? Aku sudah ada di hadapanmu. Bagaimana menurutmu sekarang? Apakah aku lebih dari pantas untuk membantumu membalaskan dendam pada orang yang kaubenci?"

"Hmmm, aku tidak akan pernah yakin dengan makhluk jelek macam kamu!" hardikku.

Makhluk itu menyeringai jahat. Aku melangkah mundur beberapa tindak. Seringaian jahat itu membuat nyaliku mendadak ciut.

"Baiklah, Anak kecil, lebih baik kamu mati saja! Ha! Ha! Ha!"

Aku berlari hendak keluar kamar. Tetapi sialnya pintu kamarku terkunci. Pasti ini ulah makhluk jahat yang ada di dalam kamarku ini.

"Stop!!!" teriakku.

Namun, makhluk jahat itu memang tak berhati. Ia terus memburu tubuhku ke mana pun aku berlari. Tangannya yang berkuku tajam itu terus terulur hendak memiting leherku.

"Dasar manusia bodoh!" ceracaunya.

Aku berteriak sekuat tenaga. Berkali-kali kuserukan Asma Allah, berharap Kiai Mansur akan segera menolongku.

Aku tak tahu kapan tepatnya ketika ayah dan Kiai Mansur berhasil mendobrak pintu kamar. Mereka saling bertukar pandang saat melihat monster ini.

Monster itu berhasil mencengkram kakiku. Aku tak tahu seperti apa luka di kakiku. Yang jelas, rasanya sangat sakit dan sangat panas. Panasnya tidak hanya di kaki tetapi menjalar ke seluruh tubuh. Aku tak punya kekuatan lagi untuk melawan. Mungkin nyawaku memang benar harus berakhir di tangan monster jelek ini.

"Ha! Ha! Ha! Sebentar lagi, kamu akan mati anak manis. Dan darahmu yang segar itu akan menjadi tinta terbaik penaku. Ha! Ha! Ha!"

Aku terjatuh lemas di lantai. Kudengar suara Bunda yang terisak-isak sambil menyebut namaku dengan samar-samar. Sepertinya luka ini mengeluarkan banyak darah. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin melihat ketika badan monster yang jelek itu berhasil melukai tubuhku lagi.

"Aw... Rupanya banyak manusia. Asyik ... aku bisa punya persediaan darah yang banyak untuk penaku .... Ha ... ha ... ha ..... Manusia bodoh!"

"Tolong jangan sakiti orang tuaku!" desisku penuh kebencian.

"Aw ...! Menarik sekali .... Gadis kecil yang sudah ...,"

Aku tak tahu apa yang terjadi. Kata-kata monster itu terputus. Yang terdengar kemudian adalah lolongan panjang penuh kesakitan yang disusul suara berdebam yang cukup keras. Aku tak berani membuka mata, takut itu adalah lolongan kesakitan Ayah atau Kiai Mansur. Akan tetapi sepertinya bukan. Setelah jeritan penuh kesakitan itu berakhir, aku mendengar langkah-langkah mendekat yang kemudian disusul terangkatnya tubuhku. Samar-samar aku merasakan bahwa tubuhku ada dalam gendongan seseorang. Sepertinya ini bukan orang asing. Kubuka mata perlahan dan kulihat wajah Ayah yang penuh kecemasan. Setelah itu rasa sakit di kakiku mengambil kesadaranku. Aku jatuh pingsan.

Aku baru tersadar beberapa saat kemudian. Orang pertama yang kulihat adalah Bunda. Perempuan itu berlinangan air mata.

"Bun ...,"

Bunda tersenyum lalu menangkupkan tangan ke wajah. "Alhamdulillah, anak gadis Bunda sudah sadar."

Aku membalas senyuman bunda dengan senyuman tipis. Lalu Bunda memanggil Ayah. Akan tetapi yang datang bukan Ayah, melainkan dokter dan suster. Mereka memeriksa tubuhku terutama luka di kakiku. Setelah selesai, baru mereka mempersilahkan Ayah dan Bunda masuk. Ayah langsung menghambur ke pelukanku. Diciuminya aku. Baru sekali ini aku melihat Ayah menangis dan air matanya itu untukku. Sekarang, baru aku sadari bahwa mereka sangat mencintaiku.

"Kenapa tidak sejak awal kamu ceritakan ini pada Ayah dan Bunda, Sayang?"

"Aku takut mengganggu Ayah dan Bunda. Lagi pula kukira ini bukan sesuatu yang berbahaya."

"Sayang, jangan sampai hal seperti ini terulang, ya!"

Aku mengangguk. Lalu aku tersenyum pada Kiai Mansur, orang yang telah menolongku.

"Terimakasih, ya, Eyang," kataku.

Eyang adalah kebiasaan orang-orang di kotaku tinggal bila memanggil Kiai Mansur. Mungkin karena Kiai Mansur adalah sesepuh di kota kami.

"Sama-sama, Nduk. Hati-hati dalam bergaul. Sekarang banyak orang berpikiran licik demi mewujudkan apa yang ia inginkan."

"Iya, Eyang. Tapi kalau boleh tahu, ke mana perginya monster tadi? Apa yang ia katakan?"

"Ia sudah tiada. Ia sudah kembali ke tempat di mana seharusnya ia berada. Ada salah seorang temanmu yang iri padamu. Lalu ia meminta jin tadi untuk meneror hidupmu."

"Astaghfirllah. Kejam sekali orang itu. Apakah monster tadi menyebutkan nama orang yang telah menyuruhnya, Eyang?"

Kiai Mansur menggeleng sedih. "Sayangnya tidak. Tapi biarlah, Nduk. Yang terpenting kamu selamat."

"Iya, Eyang. Sekali lagi terimakasih banyak."

Kiai Mansur mengangguk. Tak lama kemudian beliau berpamitan. Ayah mengantarkannya pulang. Sedang aku di rumah sakit ditemani oleh bunda.

TAMAT

 

 

Penulis: Fitri Ayu Wulandari

 

[Diambil dari buku Antologi Cerpen: Imajinasi Tanpa Batas terbitan Balai Literasi Braille Indonesia “Abiyoso” tahun 2019]

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024