Cerpen: Sunset
Menurutku sunset kali ini terasa berbeda dengan sunset di hari-hari kemarin. Meski aku berdiri di tempat yang sama, tempat ini terasa asing. Aku terus
menatap kearah sang mentari yang perlahan-lahan kembali ke peraduannya. Membuat langit barat berwarna jingga keemasan. Air mataku kembali menetes, mengenang masa-masa indah kita di pantai ini. Pantai yang juga membuat kau pergi meninggalkanku sendirian. Mengapa harus seperti ini? Mengapa tempat yang tadinya indah ini, mendadak jadi sangat menyeramkan?
Delapan tahun yang lalu, saat aku baru masuk ke bangku SMA, tak sengaja aku bertemu denganmu, seorang pemuda yang amat menarik hatiku. Dan alangkah senang
hatiku saat mengetahui kau juga sekelas denganku. Sebenarnya aku sangat ingin mengajakmu berkenalan, namun aku tak memiliki keberanian.
Aku hanya bisa memandangmu dari jauh. Memperhatikanmu setiap hari. Yah, kau adalah cinta pertamaku di masa sekolah. Hingga setahun berlalu. Kini kita sudah
naik ke kelas XI. Akan tetapi kita sama sekali belum pernah mengobrol. Meski kita sekelas di kelas X, namun kita hanya saling mengenal nama. Jujur aku
sangat menyukai namamu. Aziz Putra Pratama. Aziz yang berarti perkasa memang sangat sesuai denganmu. Memiliki postur tubuh yang tinggi, jago bermain basket, bisa karate, dan pandai memainkan alat musik. Yup, kau adalah pangeran impianku.
Beberapa bulan di kelas XI, tiba-tiba saja kau menghampiriku di koridor. Sudah pasti aku menjadi salah tingkah karenanya. Dan itulah pertama kalinya kau
menyapaku.
“Hay, Sa, mau ke kelas bareng?”
Untuk sesaat, aku tak mampu berkata-kata.
“Sasa,” ujarmu lagi, sepertinya bingung akan sikapku, “Mau masuk kelas sama-sama, nggak?”
“Emm, b-b-boleh,” kataku, gugup. Ah, entah mimpi apa aku semalam. Hari ini cowok yang selama ini sangat kukagumi mengajakku ke kelas bersama. Itu membuatku bahagia tak terkira.
Sejak hari itu, kau sering mengajakku jalan berdua, dan kita pun menjadi akrab.
Setahun kembali berlalu. Ini adalah tahun terakhir kita di bangku SMA. Selama tiga tahun belakangan, rasa sukaku kepadamu tidak pernah berkurang. Bahkan
semakin bertambah. Apalagi sejak kelas XI kita bersahabat, jadilah setiap hari kita bertemu dan mengobrol.
Sore itu, sepulang sekolah kau mengajakku berjalan-jalan. Sudah pasti aku mau. Namun aku tak tahu kau akan mengajakku ke mana.
“Udah, ikut aja! Aku akan bawa kamu ke tempat yang pasti kamu suka,” katamu dengan mantap.
Aku pun mengangguk.
Kurang lebih tiga puluh menit menempuh perjalanan, kita pun tiba di tujuan. Ternyata kau mengajakku ke pantai Talise. Pantai yang sangat indah karena berbentuk
teluk, sekaligus menjadi tempat wisata di kota ini. Yup, kota Palu. Kota yang tidak besar, namun memiliki keindahannya sendiri. Dan selama sejam kita berada
di sini, kau terus menggodaku, membuatku tertawa riang, hingga tak menyadari kita menjadi tontonan wisatawan.
“Sa, coba lihat ke arah barat!” katamu.
“Emangnya ada apa?”
“Lihat aja!”
Aku pun mengarahkan pandanganku ke arah yang kaumaksud. Sungguh menakjubkan. Itu adalah pemandangan matahari terbenam yang sangat indah, tanpa ada satu
pun awan yang menghalangi. Saat menatap sunset itu, kau menggenggam tanganku. Lalu berbisik,
“Sa, aku suka sama kamu. Udah lama aku memendam perasaan ini. Cuma aku baru berani sekarang untuk mengutarakannya. Sa, mau gak, jadi pacarku?”
Seketika itu juga, aku tersentak bagai disengat lebah. Pipiku pun terasa hangat. Mungkin warnanya sudah seperti kepiting rebus. Aku lalu menunduk untuk
menyembunyikannya. Hmm, entahlah, aku seperti tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Seorang pemuda yang telah lama kukagumi, tiba-tiba menyatakan
perasaannya kepadaku? Apakah ini bukan mimpi? Oh, Tuhan, jika ini cuma mimpi, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi yang teramat indah ini.
“Sa, gimana? Kamu mau?” Kau kembali berbisik. Dan tanpa membuang-buang waktu, aku langsung mengangguk mengiyakan. Mulai saat itu, di pantai Talise, dan
sang mentari yang menjadi saksinya, kau resmi menjadi kekasihku.
Beberapa tahun pun kembali berlalu. hubungan kita sudah semakin serius. Setelah menjadi sarjana, kau kembali mengajakku ke tempat pertama kali kau menyatakan
perasaanmu padaku. Di waktu yang sama seperti empat tahun dahulu, di saat sang raja siang kembali ke peraduannya, kau melamarku. Itu adalah hari yang
sangat bersejarah bagiku. Aku serasa terbang mendengar kau mengajakku menikah. Tuhan memang sangat baik padaku, mengirimkan malaikat sepertimu, yang selalu
membuatku nyaman dan bahagia.
Setahun setelah kau melamarku, saat lagi sibuk-sibuknya mengurus acara pernikahan kita, tiba-tiba, sore itu kau mengajakku untuk mengunjungi festival yang
diadakan di pantai Talise.
“Untuk apa, sih, kita ke sana? Tiga hari lagi, 'kan, hari pernikahan kita. Kamu gak lihat kita lagi sibuk menyiapkan ini dan itu?” gerutuku.
“Ya, aku tau. Tapi apa salahnya kita datang ke festival itu? Banyak teman-temanku yang ke sana mengajak semua keluarganya.”
“Emang gak ada salahnya, sih, tapi bukannya festival itu baru dibuka malam nanti? Ngapain pergi dari sekarang?” Tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Gak apa-apa, jam segini sudah banyak pameran. Kita bisa lihat-lihat ke sana.”
“Tapi aku malas ke sana. Kamu aja sendiri.” Sepertinya nada suaraku agak meninggi.
“Lho, kok, malah ngambek, sih? Aku, 'kan, cuma ingin mengajakmu berjalan-jalan di pantai Talise.”
“Tapi aku gak mau ke sana.” Aku bersikeras menolak.
“Ya, udah, aku pergi sendiri aja.”
“Ih, kok, kamu malah pergi, sih?” Tanyaku.
“Ya, aku ingin aja melihat-lihat festival itu. Aku tertarik karena itu, 'kan, festival budaya suku kita, suku Kaili. Jadi aku mau menonton di sana.”
“Ya, ampun, pertunjukkan budayanya ntar malam, kali, pas pembukaan. Nanti malam aja kita ke sana yah?” Kataku, sedikit memelas.
“Gak, aku mau perginya sore ini.” Kau pun teguh pada pendirianmu. “Ya, udah, ntar malam aku jemput kamu, kita pergi ke festival itu bareng-bareng.”
“Ya, udah, deh. Kamu duluan aja ke sana.”
Kau lalu berpamitan, lantas pergi ke pantai itu. Rupanya, itu juga terakhir kalinya kita bertemu. Setelah pamitan itu, kau tak pernah lagi kembali.
Kau menjadi salah satu korban tsunami yang terjadi di pantai Talise.
Awalnya aku tak percaya dengan bencana yang menimpa kota kita. Tak lama setelah kau pergi, tepat pukul 18.02 WITA memang terjadi gempa bumi yang sangat
dasyat. Namun aku sama sekali tak berpikir jika gempa itu menyebabkan tsunami. Jadi kupikir mungkin kau aman-aman saja.
Akan tetapi, sejam setelah gempa yang dasyat itu, ada yang memberitahukan bahwa ketika pantai Talise dihantam tsunami, semua yang berada di sekitarnya
tak ada yang selamat. Hampir semua bangunan di sana juga rubuh. Langsung saja aku shock mendengar berita itu. Calon suamiku, pemuda yang selama ini membuatku
bahagia, berada di sana, dan kemungkinan tidak selamat. Aku serasa ingin menyusulnya ke sana, mencarinya, siapa tahu ia masih dapat di selamatkan. Namun
orang-orang melarangku. Aku hanya bisa pasrah, menunggu di sini. Menanti kabar baik.
Besoknya, ada relawan yang datang, membawa tubuh kakumu. Tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Aku langsung menghambur memeluk jasadmu, dan menangis, meluapkan
semua rasa kesedihan, kekesalan, kesepian ditinggal olehmu. Pemuda yang sangat berarti dalam hidupku.
Sore itu setelah pemakaman, Aku pun pergi ke pantai Talise. Menatap sunset yang sama seperti delapan tahun sebelumnya. Namun tak lagi bersamamu. Kali ini
aku sendirian, dan akan terus merasa sendirian, tanpamu disisiku.
Penulis: Zhizie
[dimuat dalam majalah Gema Braille versi Dewasa edisi Juli-Agustus 2019]
Komentar
Posting Komentar