Cerpen: Kembali untuk Terluka
Pernahkah kau mendengar seseorang yang terbangun di tempat asing dan menjadi orang lain? Jika belum, percaya atau tidak, itulah yang kualami kini. Lima
hari lalu aku terjaga di sebuah kamar bercat hijau. Tatapanku nanar, semua asing bagiku. Saat itulah, sekonyong-konyong pintu kamar terbentang. Seorang
gadis kurus berjalan masuk.
“Sayang, kauterlambat bangun!” sapanya.
Dahiku mengernyit. Dia memanggilku sayang? Apa pula ini?
Mengenalnya pun tidak.
“Mengapa diam saja?” salaknya jengkel.
Aku tersentak mendengar bentakan si hitam manis. Sungguh, kegalakannya bagaikan rentenir yang berang lantaran si miskin tak kuasa membayar utang, pun tidak
mempunyai barang berharga untuk disita.
“Siapa kau?” tanyaku tergagap.
Mata si gadis sempurna melebar, memancarkan kilat amarah yang membuat kamar ini terasa panas.
“Aku Afifah, Arya! Tunanganmu.” ujarnya menahan geram.
“Namaku Satria, bukan Arya! Tunanganku Embun, bukan Afifah.” bantahku sengit.
Afifah memutar bola mata sembari berdecak.
“Masa bodoh! Aku tidak tahu lelucon garing apa yang kaupamerkan ini, dan tidak peduli apa tujuanmu. Yang jelas sekarang kauharus turut sarapan! Ayah, Paman
Al, dan Bibi Azkia sudah lama menunggumu.” ucapnya dalam satu kali tarikan napas.
“Paman Al dan Bibi Azkia?”
“Ya, kedua orangtuamu,” tegasnya diiringi tatapan tajam. “Jangan bilang kalau kau juga melupakan mereka!” ancamnya sebelum membanting pintu kamar dan berlalu.
Aku kembali merenungkan semua hal yang sudah ataupun tengah berlangsung. Tempat asing ini, Afifah yang menjadi tunanganku, namaku yang entah bagaimana
ceritanya berubah jadi Arya, serta orangtua yang tengah menungguku untuk sarapan. Kegilaan macam apa ini? Sekali lagi, namaku Satria, bukan Arya. Tunanganku
Embun, bukan Afifah. Orangtuaku sudah tiada. Dari mana pula datangnya orangtua bernama Al dan Azkia? Ah! Semua terasa memusingkan. Akan tetapi, siapa pun
diriku sebenarnya, ada hal penting yang kini lebih genting. Mengingat perutku yang tak henti berkeruyuk, aku pun memilih sarapan bersama keluarga yang
bukan keluargaku, juga tunangan yang bukan tunanganku.
Pagi itu, aku sarapan tanpa berbicara sepatah kata pun. Sangat kontras dengan kebiasaanku yang hanya berhenti berceloteh ketika lelap. Pagi itu juga, untuk
pertama kalinya aku merasa sepi di keramaian. Sebuah paradoks yang selama ini hanya kukenal lewat lagu “Kosong” milik Dewa. Sementara empat orang di sekitarku—sepasang
suami istri yang konon merupakan orangtuaku, tunangan yang bukan tunanganku, serta pria pemilik tawa dingin bak psikopat yang tak lain adalah ayah Afifah—sibuk
membicarakan rencana pernikahan yang akan digelar lima hari kemudian.
“Hai, mengapa diam saja, anak muda? Jangan katakan kalau kau sedang terserang sariawan tingkat akut!” ayah Afifah menggodaku, lantas memamerkan kekehan
khas psikopatnya.
“Sepertinya kepalanya baru saja terantuk. Atau, ingatannya baru saja dibawa pergi bulan Oktober.” gadis itu mengolokku lalu tertawa dan astaga! Cara tertawanya
mirip Nyi Pelet dalam sinetron “Dendam Nyi Pelet”. Sepertinya, ayah beranak ini memang dianugerahi tawa khas menyeramkan. Ketiga orang lainnya turut tertawa
dan entah mengapa aku yakin penyebabnya bukanlah lelucon Afifah, mengenai ingatanku yang dibawa serta bulan Oktober, melainkan karena tawa si gadis yang
terdengar lucu-lucu menyeramkan.
“Apakah kausakit, Nak?” wanita bernama Azkia itu menyapaku dengan lembut disertai tatapan mengasihi.
“Tidak, aku baik-baik saja, Mama.” aku tersenyum canggung, mencoba meyakinkan. Sapaan mama sungguh terasa asing di bibirku, tetapi mau bilang apa? Aku
tidak ingin menambah rasa heran mereka lagi. Terlebih aku juga mulai ragu. Jangan-jangan mereka memang orangtuaku dan Afifah memang tunanganku. Adapun
Embun mungkin khayalanku semata. Namaku Arya, dan ingatanku benar-benar hilang seiring berlalunya Oktober. Demikianlah pengalaman aneh yang kualami sejak
lima hari lalu dan sekarang aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Afifah, karena sore nanti kami akan menikah.
“Arya, di mana kau? Turunlah! Kita tidak boleh terlambat.” wanita yang lima hari terakhir kupanggil Mama itu berseru untuk kelima kalinya selama enam puluh
menit terakhir. Ya, aku memang terlampau sibuk meyakinkan diri bahwa apa yang kualami adalah kenyataan, sehingga melupakan orangtua yang tengah menungguku.
Bagaimana tidak, kalau sampai detik ini aku masih sulit membedakan antara kenyataan dan khayalan? Padahal semestinya ini tidaklah sulit. Faktanya sudah
terbentang. Hari ini aku akan menikahi Afifah, sedangkan Embun hanyalah gadis halusinasi yang entah mengapa terasa amat nyata.
Saat berada dalam perjalanan tiga puluh menit kemudian, sekonyong-konyong aku merasakan deja vu. Aku pernah berada di dalam mobil yang sama, ditemani beberapa
orang yang bermaksud mengantarkanku ke pernikahan. Bedanya, gadis yang akan kunikahi adalah Embun, bukan Afifah. Lalu kejadian yang sama pun terulang.
Sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi mendatangi kami dari depan dan sopir yang mengendarai mobil kami berusaha menghindar. Akan tetapi, mujur tak
dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Maksud hati menghindari tabrakan dengan truk, mobil kami malah masuk jurang. Selanjutnya, aku tak ingat apa-apa
lagi.
Aku mencoba menggerakkan kakiku, tetapi gagal. Bahkan seluruh tubuhku terasa kaku. Tenggorokan kering, sehingga saat berusaha meminta air hanya erangan
parau tak bermakna yang terdengar. Aku membuka mata. Semua tampak kabur, bagaikan sedang memandang di air keruh.
“Dia sudah sadar.” suara yang terdengar bergetar itu tidak asing bagiku. Dialah Embun, gadis yang seharusnya kunikahi. Namun, kecelakaan mengubah segalanya.
Oh, tidak! Bukankah belum terlambat untuk mewujudkan semua itu? Aku sudah kembali. Bahkan maut sekalipun tak tega memisahkan dua insan yang saling mencinta.
Kini aku bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Tunanganku memang Embun, sedang Afifah mungkin dewi galak yang hidup di antara langit dan bumi, yang
kutemui saat menjelajahi lorong-lorong kematian di masa kritisku.
Dokter memperbolehkanku pulang dua minggu kemudian. Selama di rumah sakit, Embun dan Leo yang menungguiku. Leo adalah adik angkatku. Orangnya periang,
tampan, dan baik tentunya. Kami mempunyai banyak kesamaan. Hobi bermusik, gemar menjahili orang, dan sering mematahkan hati makhluk bernama wanita. Eh,
yang terakhir sebenarnya bukan sesuatu yang kami inginkan. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Untuk aku sendiri, alasan menolak curahan kasih para gadis
itu adalah Embun. Sedangkan Leo, entahlah! Meskipun masih sendiri, aku yakin jika diam-diam ia telah mencintai seseorang yang entah siapa. Kendati sangat
akrab, Leo cukup pandai menyembunyikan perasaannya dariku.
“Maafkan aku, Bang!” suara Embun sempurna mengejutkanku. Aku terlalu asyik membaca sehingga tidak menyadari kedatangannya. Aku memang mendengar suara mobil
berhenti, tetapi kupikir hanya Leo seorang yang datang.
Aku menutup novel Origin yang sedang kubaca, lantas mempersilakannya duduk.
“Mengapa minta maaf? Akulah yang seharusnya minta maaf. Karena kecelakaan, pernikahan kita harus tertunda. Tapi jangan khawatir, setelah aku benar-benar
sembuh, kita akan segera melangsungkan pernikahan.”
“Tidak mungkin, Bang!” Embun mulai terisak.
“Tidak mungkin bagaimana, Embun?” penolakan Embun sungguh menyesakkan dadaku. “Kaumarah karena pernikahan kita batal? Kauseharusnya tahu, itu bukan keinginanku.”
Embun menggeleng.
“Tidak ada yang menyalahkan Abang. Takdirlah yang tidak berpihak kepada kita. Aku sudah menikah dengan Leo.”
Seketika aku berteriak frustrasi. Bagaimana mungkin ini terjadi? Gadis yang seharusnya menjadi istriku, menikah dengan adik angkatku, di saat aku sedang
bergulat melawan maut pula. Oh, Tuhan, adakah yang lebih menyedihkan dari ini?
Di saat yang bersamaan, Leo berjalan menghampiri kami. Sepertinya ia sudah mendengar percakapanku dengan Embun. Terbukti dari perkataannya kemudian.
“Jangan salahkan Embun, Bang!” tetapi aku hanya diam, tak kuasa berkata sepatah kata pun. Padahal, amarah telah menyelimuti hatiku yang porak-poranda.
Jadilah aku membisu, mendengarkan penjelasan mereka.
“Kami menunggu kedatangan Abang tiga jam lamanya.” Embun memulai ceritanya. “Para undangan pun mulai tak sabar, lebih-lebih aku dan keluarga. Lalu berita
kecelakaan itu tiba.”
“Aku yang menyampaikan kabar itu.” Leo menyela cerita Embun. “Abang tentu ingat, bukan?” aku mengangguk spontan. “Hari itu aku memilih naik motor, mengikuti
mobil kalian dari belakang. Ketika kecelakaan itu terjadi, semua penumpang meninggal, kecuali Abang. Dan usai memastikan bahwa Abang akan mendapat penanganan
yang baik dari para dokter, aku pun bergegas ke rumah Embun untuk mengabari.”
“Aku menerima berita itu dengan hati remuk.” Embun melanjutkan ceritanya. “Pikiranku kusut, akalku lumpuh. Ibu menghiburku, tetapi ayah yang keras tidak
mau mengerti. Beliau tidak ingin ada pernikahan yang batal. Baginya itu adalah aib yang tak tertanggungkan. Terlebih mengetahui keadaan abang yang tipis
harapan untuk hidup, membuat ayah kian mantap untuk meminta orang lain menikahiku.”
Embun sempurna menangis kini.
“Hatiku semakin sakit mendapati perlakuan ayah yang lebih mementingkan malu daripada aku, anaknya. Sepertinya, dia tidak akan ragu menikahkanku dengan
duda beranak tujuh asalkan tak ada pernikahan yang batal. Maka, ketika Leo menawarkan diri untuk menikahiku, aku menerimanya saja. Setidaknya Leo akan
menjagaku sebagaimana abang selalu melindungiku.”
Hatiku berdarah-darah, tetapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi.
“Maafkan aku, Bang!” Leo menatapku penuh penyesalan. “Aku tidak bermaksud merebut Embun. Aku memang mencintainya sejak lama, tapi niatku menikahinya hanya
karena ingin melindunginya. Dia tidak pernah mengkhianati Abang. Dia mungkin menyayangiku, tapi cintanya hanya untuk Abang. Aku juga bersedia menceraikannya
jika itu bisa membuatnya bahagia bersama Abang. Ya, perlu Abang tahu, meskipun sudah tujuh bulan menikah, kami belum pernah,”
“Tidak!” potongku. “Pergilah kalian! Aku ingin sendiri.”
Kulihat Embun bersiap mengatakan sesuatu yang mungkin berupa bantahan, tetapi aku buru-buru mencegahnya.
“Pergilah, Sayang! Ini bukan salah siapa-siapa. Leo akan menjagamu.”
Embun terisak sambil berlari limbung menuju mobil.
“Jaga dia!” Leo mengangguk, lantas bergegas menyusul istrinya.
[Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Senin 7 September 2020]
Penulis dianugrahi dengan nama lengkap Ika Asrianti Puspitasari, dipanggil dengan nama Pitaloka, saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Lakidende, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.
������
BalasHapusVery nice
BalasHapus