Larik Syair Hidupku

Namaku Barokah. Dalam keluarga aku biasa dipanggil Okah.

Sering kali namaku membuat orang salah paham. Entah sudah berapa orang yang mengira aku seorang wanita.

Itulah mengapa, di dunia maya aku menggunakan nama Yuda Wira Jaya, dengan panggilan Yuda.

Nama yang semula hanya iseng belaka, kini malah seperti identitas sejati dalam diri.

Memang unik. Rata-rata kawan akrabku, yang tadinya merupakan kawan di dumay  , tetap memanggilku Yuda ketika kami bertemu langsung, walau tidak sedikit dari mereka yang sudah mengetahui nama asliku.

Aku terlahir di Wonosobo, 20 Desember 1997, dari pasangan Amin Sugito dan Rokhayah.

Aku merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, dan hanya aku satu-satunya yang memiliki keterbatasan penglihatan.

Sejak kecil aku memang sudah terlahir tak sempurna. Akan tetapi, alhamdulillah aku dapat diterima dengan baik oleh mereka walau awalnya ibuku hampir saja dilanda depresi yang berat begitu menyadari anak bungsunya kali ini tidak sama dengan kakak-kakaknya.

Namun nenek terus berusaha menguatkan beliau.

"Terima saja, Insha Allah anak ini kelak membawa berkah.” Demikian ucap nenek pada ibu. Itulah mengapa nenek memberiku nama Barokah, dengan harapan aku dapat mendatangkan berkah dalam keluarga.

Aku bukan dari kalangan orang berada, ayahku hanya bekerja sebagai petani sekaligus kusir delman, sedangkan ibuku seorang ibu rumah tangga.

Saat usiaku enam tahun, ibu pergi menjadi TKW di luar negeri selama tiga tahun. Aku hanya bersama ayah dan kakak di rumah.

Masa kecilku memang cukup indah. Aku terkadang masih larut dalam kesedihan jika mengingatnya, karena sangat jauh dengan keadaanku kini.

Aku menikmati masa kecil sebagaimana anak pada umumnya. Aku bermain layang-layang, mengendarai sepeda, bermain kelereng, dan berbagai permainan menarik pada masa itu.

Aku memang tidak menyadari keadaanku yang tunanetra. Waktu itu aku masih bisa melihat, walau penglihatan itu terbatas.

Setelah mengenal teman-teman senasib, baru aku mengerti bahwa itu namanya low vision.

Betapa indahnya masa-masa itu, tapi keindahan itu tiba-tiba lenyap pada 2011 silam saat usiaku baru akan menginjak empatbelas tahun.

Di dalam mataku, ada selaput berwarna putih yang semakin hari semakin tebal, dan mengganggu jarak pandang.

Tahun 2011 sepertinya merupakan puncak penurunan kemampuan penglihatanku.

Badanku demam tinggi dan pandanganku jadi kabur. Sejak itulah penglihatanku tidak seperti dulu lagi.

Aku tidak bisa lagi mengendarai sepeda, bermain PS, dan berbagai aktifitas lainnya.

Memang sulit sekali menerima kenyataan. Jika sedang berada dirumah, jauh dari teman-teman senasib, aku seringkali menghujat Tuhan bahwa Dia tidak adil! Aku merasa sebagai penyandang tunanetra seorang diri di dunia ini.

Pada tahun 2012, setelah aku masuk sekolah luar biasa (SLB) di Yogyakarta, perlahan-lahan aku mulai bangkit, bahkan mampu bersyukur. Ternyata banyak juga teman yang sepertiku, bahkan lebih parah.

Aku mulai mengasah bakat-bakatku. Kucoba menguasai hal-hal yang kuanggap mampu menghapus stigma negatif tentang tunanetra di masyarakat, khususnya masyarakat awam yang belum melek teknologi.

 

Menulis menjadi kegemaranku, aku banyak terinspirasi oleh aksara-aksara indah yang digoreskan para penyair, termasuk seorang penyair tunanetra yang mampu mencambukku untuk mencintai puisi sepenuh hati.

Terkadang aku berkhayal, mampukah aku memberikan warna dalam perbendaharaan puisi di Indonesia? Mampukah aku duduk sejajar dengan mereka tanpa sekat-sekat yang membatasi dunia kami?

Jawaban itu kutemukan saat aku kelas X SMA, ada seorang guru Bahasa Indonesia yang sangat antusias membantu mewujudkan mimpiku.

Membaca puisi-puisiku, beliau tertarik memfasilitasi aku dan salah seorang teman yang juga hobi menulis, untuk menerbitkan karya kami dalam bentuk buku.

Buku antologi kami yang pertama terbit pada bulan Oktober 2020 dengan judul “Tersenyum dalam Gulita”.

Sejak saat itu, aku tidak lagi minder dalam berpuisi.

Aku seringkali terlibat dalam kegiatan yang juga diikuti para penyair. Alhamdulillah, berbagai penghargaan dalam berpuisi berhasil kukumpulkan.

Aku bertekad, tidak akan mudah merasa puas, karena perjalanan masih panjang bagiku. Saat tulisan ini kubuat, aku masih duduk di kelas III MAN 2, Sleman, Yogyakarta, dan aku yakin masih banyak hal positif yang bakal kuraih ke depannya.

 

Penulis:

Barokah (Yuda Wira Jaya)

Editor: Iin Saputri 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024