Corat-coret Tanpa Makna Part II
Kawan, masih ingatkah corat-coretku beberapa hari lalu yang tanpa makna itu? Jika masih, sebaiknya lupakan saja. Sejatinya aku bukan orang yang senang mempertunjukkan kelemahan di depan umum. Jangankan kelemahan sendiri, kelemahan orang lain pun, termasuk mereka yang kurang kuberikan respect, enggan kudemonstrasikan di ruang publik, baik dunia nyata maupun dunia maya. Kalau aku adalah penyerang dalam sebuah tim sepak bola, pasti aku dianggap tidak punya naluri pembunuh (killer insting), dan itu buruk bagi tim.
Segala keluh kesahku kemarin tidak patut diapresiasi, tidak layak menjadi alasan bagi siapa pun untuk menghabiskan waktu membacanya. Mungkin ada yang bilang itu bukanlah kelemahan. Aku setuju, itu memang bukan kelemahan, melainkan ketidakberdayaan. Hahahaha, sama saja, bukan?
Aku tidak akan membela diri. Aku punya terlampau banyak sifat buruk, yang akhirnya memerangkapku dalam dilema berkepanjangan. Contohnya sedang terjadi beberapa waktu belakangan ini.
Sebagaimana kuceritakan kemarin, aku sedang menanggung beratnya konsekuensi dari salah satu keputusanku, keputusan untuk berkorban demi ibu. Ya, pasti ada yang bilang, itu sudah sewajarnya. Bukankah ibu sudah lebih dulu berkorban segalanya buatku? Tentu tidak elok membanding-bandingkan pengorbananku dengan pengorbanan beliau. Pengorbananku tidak ada secuil pun dari kasih sayang beliau terhadapku.
Aku pun sepakat akan hal itu. Namun, salahkah jika aku mencurahkan kepenatanku? Berdosakah jika kutuliskan keresahanku? Jahatkah jika aku berusaha menetralisir tekanan-tekanan akibat keputusan itu?
Keputusan untuk berkorban itu bukan perkara mudah, malah teramat sangat sulit. Aku sadar, sekali saja kutolak permintaannya, aku akan dihantui rasa bersalah, dan itu jauh lebih berat.
Salah satu faktor keputusanku untuk menuruti permintaan ibu adalah fakta bahwa bertahun-tahun yang lalu, aku juga sempat menolak permintaan mendiang Ayah. Waktu itu beliau sudah sakit parah, dan sempat memintaku untuk pulang dari perantauan. Namun, kutolak permintaan itu dengan alasan yang aku sendiri pun sudah lupa, yang jelas berkaitan dengan pekerjaanku. Alhasil, aku tak ada di sisi beliau ketika akhirnya beliau wafat. Betapa kelam penyesalanku waktu itu. Rasa bersalah membebaniku sekian lama. Aku bahkan sempat mempertanyakan kuasa Tuhan, juga marah kepadaNya. Diam-diam aku sempat mendendam pada tempat kerjaku. Aneh, bukan? Bodoh sekali, bukan? Semua adalah kesalahanku sendiri, bukan pihak mana pun. Di tengah kobaran dendam itu, aku berkomitmen bahwa mulai saat itu, kepentingan keluarga akan kudahulukan ketimbang pekerjaan.
Bertahun-tahun kemudian, ketika aku sudah mulai merasa mapan di tempat kerja, Ibu memohon agar aku mau pindah kerja ke kota kelahiran kami. Jujur, itu berat. Aku telah menikmati kenyamanan dan lonjakan antusiasme di kantor ini dalam beberapa tahun terakhir. Ini karena lembaga ini telah memberiku kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakatku di bidang literasi. Bidang ini telah menjadikanku seseorang yang kuinginkan. Bidang kepenulisan dan penyuntingan naskah benar-benar menjadi sumber motivasi hidupku, dan kurasa hal ini sulit kutemukan di tempat lain. Mungkin ada, tetapi situasi dan kondisi di sini telah telanjur membuatku merasa nyaman. Bukankah kenyamanan adalah salah satu faktor terpenting agar mampu produktif?
Silakan jika ada pembaca yang hendak menyangkal pernyataanku tadi. Yang pasti, itulah yang kurasakan. Ketika telah merasa nyaman, apa pun kendalanya, pasti dapat teratasi dengan mudah.
Makin menjelang usai, tulisan ini rasanya makin jadi semacam pembenaran/pembelaan diri sendiri. Sejatinya, aku tidak bermaksud begitu. Aku sedang berusaha untuk tetap pada komitmenku di atas: family come first, tetapi aku juga perlu menuliskan kegundahanku agar beban ini sedikit meringan. Kurasa, cukup dulu untuk malam ini. Apakah akan lanjut ke part III? Entahlah. Yang jelas, kalaupun ada, semoga kontennya akan lebih positif, lebih bernuansa sukacita.
Untuk malam ini, kuusaikan sampai di sini. Terima kasih, laptop, terima kasih pada Tuhan yang masih menganugerahiku tenaga untuk menuliskan ini semua. Terima kasih juga kalau ada yang sempat membaca ini dan bisa memahami kondisi batinku sehingga tidak begitu saja menyalahkanku.
Komentar
Posting Komentar