Narasi Diri : Sebuah Autobiografi Ugahari

Diantar dengan kesederhanaan aku lahir. Tepat sepuluh hari menjelang hari raya kurban, dua Februari dua ribu tiga, bertempat di kampung bernama Bogoran, termasuk pinggiran timur Kota Bantul Yogyakarta, aku lahir dari pasangan Tri Astono dan Apri Ariani. Sampai empat bulan tidak ada masalah, aku tumbuh seperti umumnya bayi.

Akan tetapi begitu dibawa ke dokter, ada keanehan pada gerak-gerik bola mata, yaitu selaput putihnya selalu menatap ke atas. Akhirnya diadakanlah operasi mata guna membersihkan dan membetulkan selaput. Operasi mata itu berlokasi di Rumah Sakit Mata Yap Prawiro Husodo Yogyakarta. Sampai empat tahun, hidup terasa baik-baik saja.

Memasuki usia keempat, aku lagi-lagi tidak paham secara rinci kenapa aku harus kembali dioperasi mata. Kali ini di Rumah Sakit Mata Cecendo, Bandung. Kurang lebih, kata nenek, sih, ada masalah pada lensa sehingga harus diganti.

Selesai operasi,bersama bapak dan ibu, aku tinggal di sebuah kontrakan yang termasuk daerah pemukiman rumah toko (ruko) tenggara kota. Tempat yang menawarkan berbagai kemungkinan bagi bapak dalam mencari penghidupan dan membersamai masa kecilku hingga usia sepuluh tahun. Di sanalah bapak membuka usaha rental game Play Station (PS) versi satu dan dua, yang mana konsol game ini sangat digemari pada era dua ribuan.

Masa kecilku akrab dengan kegembiraan. Bisa bermain konsol game PS sepuasnya sebab punya sendiri. Bermain dengan anak-anak tetangga pun tidak kalah menyenangkan.

Waktu terus berlalu, aku pun memasuki jenjang pendidikan taman kanak-kanak. Ibu memasukanku ke taman kanak-kanak (TK) yang tidak jauh dari rumah kakek dan nenek. Jarak yang harus ditempuh dari rumah kontrakan tidak begitu jauh, mungkin sepuluh menitan dengan sepeda motor. Setiap harinya berangkat pukul tujuh karena pembelajaran dimulai pukul delapan dan pulang pukul sebelas.

Di sana aku bahagia, bisa menikmati asyiknya bermain dan belajar. Tentu ada suka dan duka. Di situlah aku mengenal pelajaran baca tulis, melukis, keterampilan menempel kertas bergambar dengan lem, menghitung, dan masih banyak lagi. Di situ juga aku mengenal risak pertama kalinya. Menangis? Sudah tentu. 

Masih terekam jelas hingga kini di ingatanku, kala itu dua anak yang duduknya paling depan di kelas kerap menyembunyikan pensil, mengolok-olokku, bahkan menghiasi bajuku hingga kotor berlumuran lem kertas. Apa yang terjadi? Tentu berat terasa untuk anak seusiaku. Spontan menangis dan lapor pada nenek yang setia menunggu di area depan sekolah, sewaktu istirahat.

Dari peristiwa itu, rasa sakit hati masih tersisa sampai hampir masuk jenjang MTS. Namun, begitu ingat kalau itu hanya kenakalan bocah, tidak lagi kuambil pusing. Lebih-lebih saat mendapat cerita dari tetangga bahwa keduanya kini justru berperilaku negatif, memalukan nama keluarga.

Lamat-lamat ada rasa puas. Inikah karma atas perisakan waktu TK dulu? Entah, hanya Tuhan yang berhak menilai.

Selanjutnya, masa libur lebih banyak kuhabiskan bersama PS. Jika pun ada teman datang, kuajak dia untuk mabar (main bareng). Kalau di kampung kakek dan nenek biasanya aku lebih senang bersepeda.

Memasuki jenjang Sekolah Dasar, yaitu SD Muhammadiyah, masih satu kompleks dengan TK, kebiasaan main game masih kulakukan. Tanpa sesadarku, hal ini pelan mengikis jarak penglihatanku. Peringatan bapak, ibu, dan kerabat tidak kuacuhkan. Kemudian, begitu menapaki smester dua kelas dua SD, aku tidak bisa menulis huruf kecil-kecil dan sejalur pada garis yang ada di buku, bermain game dan menonton tayangan televisi juga harus menempel di layar. Hal ini semakin memperparah kondisi mata.

Sebetulnya sudah sejak umur dua bulan aku mengidap katarak, tapi karena kebandelanku itulah, di usia sembilan tahun berubah menjadi glaukoma. Operasi mata kembali dilakukan untuk mengangkat lensa yang telah rusak dan Glaukoma yang baru bersemayam itu di Rumah Sakit Mata Cecendo, Bandung. Akan tetapi, hanya lensa mata kananlah yang bisa diangkat, sementara yang kiri gagal. Ini benar-benar memukul hati segenap keluarga, lebih-lebih aku yang merasakan.

Kelas tiga SD kulalui dengan pahit. Teman-teman mulai menjauh, pelajaran sulit kujalani, tapi anehnya aku tidak begitu sedih. Saat kenaikan kelas, atas rekomendasi kepala sekolah aku pindah ke sebuah yayasan yang luar biasa berkesan. Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam Yogyakarta namanya.

Sekitar sepuluh tahun waktu itu usiaku. Sedikit banyak mulai bisa berpikir. Berkurang kenakalanku.

Aku menempuh pendidikan di Yaketunis, demikian akronim yayasan yang telah aku sebut tadi, sampai kelas sembilan. Di sanalah aku menemukan arti hidup sebagai tunanetra, banyak ilmu yang dipelajari, dan teman-teman seperjuangan yang hebat di bidangnya masing-masing. Dunia menulis, organisasi, musik, olahraga, bahkan teknologi sebagian besar kukenal lewat yayasan ini.

Oh, ya, bersamaan dengan kepindahanku di Yaketunis Yogyakarta, usaha rental bapak bangkrut karena kalah bersaing dengan warnet dan faktor lain yang kurasa sangat-sangat pribadi. Akhirnya kami tinggal di rumah kakek dan nenek sampai sekarang. Bapak bekerja serabutan dan ibu masih bisa bertahan sebagai kariawati toko baju dekat rumah yang bernama Pantes Busana.

Selama menempuh pendidikan di Yaketunis, dari tingkat SDLB dan MTS, ilmu yang kudapat sama seperti umumnya siswa di luar. Tidak ada istilah kurikulum SLB. Di sini para guru mengajarkan materi pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didiknya. Makin cerdas siswa tersebut, makin berat pula materinya. Hal yang tidak kudapatkan selepas lulus MTS pada dua ribu sembilan belas.

Pada tahun yang sama, aku masuk MAN 2 Sleman (Madrasah Aliah Negri dua Sleman), sebuah madrasah aliah negri berbasis inklusi yang berlokasi di dekat lapangan bola Maguoharjo, Kabupaten Sleman. Di sinilah jati diri benar-benar digali, memahami secara rinci nilai-nilai inklusi. Bersama teman-teman seangkatan yang tersebar di tiga jurusan, aku berusaha memaksimalkan potensi yang ada, berkiprah sebagai pelajar aliah yang berqualitas.

Minatku di bidang tulis-menulis rasa-rasanya mendapatkan tempat, selaras dengan jurusan IPS yang menyediakan akses pengetahuan yang dapat dijadikan sebagai referensi menulis. Tidak di sini saja, aku mendapatkan aneka wawasan dari dunia digital, tidak terkecuali sosial media. Internet dan relasi pertemanan dunia maya yang cukup banyak, tidak kalah pentingnya berperan membantu kemajuan diri ini hingga kini.

Dari segi sikap pun mengalami perubahan. Sebelum masuk aliah, idealis dan perfeksionis masih menjadi tabiatku. Namun, di aliah yang realitanya berbeda dari bayangan semula, sadar tidak sadar perlahan mengubahku menjadi orang yang mungkin lebih tahu diri dan berhati-hati.

Semoga arah depan dapat kuhadapi dengan cara yang lebih baik. Satu cita-citaku kini: dapat membanggakan keluarga dan orang-orang istimewa dalam hidup dengan hal-hal berguna yang bisa kulakukan sebagai bentuk syukur dan rasa sesal atas kebandelan pada masa silam.

Bantul, 21 Agustus 2021
Penulis : Akbar AP

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024