Metamorfosis

Hidup adalah tentang mengubah kepahitan menjadi kekuatan, itulah jurus terampuhku dalam menghadapi kehidupan yang tak selalu indah ini. Sejak awal, takdir seolah sudah membisikkan bahwa hidup yang akan kujalani tidak akan mudah. Dalam pemberian nama saja, orang tuaku sampai harus mengganti namaku beberapa kali. Hal tersebut lantaran aku sering sakit-sakitan. Tidak perlu heran! Salah satu mitos yang berkembang di masyarakat adalah bahwa nama yang tidak cocok akan membuat pemiliknya sakit-sakitan. Pada akhirnya, orang tuaku menamaiku Ika Asrianti Puspitasari. Sebuah nama yang bermakna ‘intinya, keindahan perempuan itu seperti bunga’. Pertanyaannya, bunga apa? Haha.
Sehari-hari, orang sering memanggilku Pita, diambil dari kata Puspita. Menurut beberapa orang, nama Pita mengingatkan mereka pada nama Pitaloka, salah satu tokoh dalam novel Tujuh Manusia Harimau. Tak pelak, mereka pun kerap memanggilku dengan nama itu. Bukan masalah. Aku sih senang-senang saja!
Aku lahir pada tanggal 22 Oktober 1995. Di sebuah rumah sederhana, yang bertempat di Kelurahan Lalosabila, Kecamatan Wawotobi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Bapak yang saat itu masih berprofesi sebagai seorang guru Matematika di salah satu SMPN di kota kami, beserta Mama yang hanya ibu rumah tangga, menyambut kelahiranku dengan perasaan bahagia. Namun, kebahagiaan itu segera berubah menjadi keresahan, tatkala aku mengalami step beberapa bulan kemudian. Apalagi saat menyadari bahwa fungsi penglihatanku mulai menurun, keresahan pun menjelma menjadi kesedihan. Kendati demikian, kesedihan itu tidak membuat mereka putus asa. Kesedihan itu justru membuat mereka melakukan segala macam cara demi mengembalikan penglihatanku. Sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil yang benar-benar manis. Penglihatanku tidak akan pernah pulih, malah semakin lama semakin berkurang. Bahkan, boleh jadi suatu hari nanti aku akan benar-benar hidup tanpa penglihatan.
Satu hal yang kusyukuri di masa kanak-kanakku, sekalipun memiliki keterbatasan penglihatan, orang tuaku tidak membeda-bedakan aku dengan para saudaraku. Tidak benar-benar sama tentunya, tetapi cukuplah. Aku bahagia bisa bersekolah di saat usiaku sudah mengharuskan begitu. Ya, meskipun pada akhirnya aku harus pindah sekolah beberapa kali.
Dalam hal mendidik pun, Mama memperlakukanku seperti anak-anaknya yang lain. Saat berbuat salah, beliau tidak segan-segan menyemprotku dengan kata-kata sepahit empedu, bahkan kalau perlu mencubitku.
Masih jelas diingatanku kejadian dulu itu. Usiaku baru enam tahun, dan aku baru duduk di kelas satu sekolah dasar. Mama memberiku uang jajan seribu rupiah, tetapi aku hanya boleh membelanjakan setengahnya, yaitu lima ratus perak. Sisanya harus kutabung. Namun, entah apalah yang merasukiku hari itu, sehingga semua uangnya aku belanjakan. Alhasil, saat pulang ke rumah, Mama memarahiku habis-habisan, dan tidak mau repot-repot berhenti meski aku sedang makan siang.
Lantaran merasa takut, aku hanya bisa menangis dalam hati, sembari berpikir betapa kejam dan tidak sayangnya Mama padaku. Aku juga mulai berpikir, kalau saja itu uangku sendiri, mungkinkah beliau akan marah jika kupakai semuanya? Akan tetapi pertanyaan tinggallah pertanyaan. Kenyataannya aku tidak punya uang sendiri. Saat itu, aku berjanji pada diri sendiri, jika sudah besar, aku akan punya penghasilan sendiri, dan tidak lagi bergantung pada orang tua.
Dua hari kemudian, Bapak membelikanku sekotak balon. Tentu saja aku sangat senang. Bagaimana tidak, aku akan bisa meniup balon sepuas hatiku. Akan kubawa balon-balon itu ke sekolah, lalu kupamerkan pada teman-temanku. Besoknya, aku mewujudkan rencanaku itu, dan terjadilah sesuatu yang tidak pernah kuduga. Salah seorang teman sekelasku memintaku menukar sebuah balon dengan uang seratus perak. Tanpa berpikir panjang, kuterima tawaran itu dengan lapang hati. Mengetahui pertukaran yang kami lakukan, teman-teman yang lain pun menawarkan hal yang sama padaku. Dan di hari berikutnya, aku pun menjadi penjual balon di kelas.
Sejak saat itu, aku mulai bisa menghasilkan uang sendiri. Bahkan, semakin bertambah usiaku, semakin bervariasi juga caraku memperoleh uang. Perlahan, aku juga mulai mengerti, Mama bukannya tidak sayang atau kejam padaku hari itu. Beliau hanya sedang mengajariku disiplin, tidak boros, serta menghargai setiap peraturan yang ada.
Tahun demi tahun berganti, aku pun semakin menyadari bahwa aku berbeda. Sebelumnya, bukannya tak ada yang mengingatkan aku. Cacian, hinaan sebagai si cantik tapi buta acap menghiasi pendengaranku, tetapi aku tidak mengacuhkannya. Aku hanya menganggap semua itu angin lalu yang tidak terlalu penting. Beberapa kali sempat membuatku sedih, tetapi setelahnya akan membuatku lebih kuat dari sebelumnya. Namun, setegar-tegarnya seseorang, akan ada masa di mana ia merasa rapuh. Demikianlah yang kualami sewaktu SMP. Saat itu penaikan kelas 8. Beberapa guru di sekolah tersebut melakukan protes. Mereka tidak ingin lagi aku bersekolah di sana, karena menurut mereka, tempat yang tepat untukku hanyalah SLB. Belum pernah aku merasakan penolakan sesakit itu. Jujur saja, saat itu aku memang tidak lagi bisa mengikuti proses belajar-mengajar secara normal. Kepalaku semakin sering sakit, dan penglihatanku kian menurun. Aku lebih sering mengandalkan pendengaran dalam menerima materi pelajaran. Namun, tetap saja tindakan mereka terasa tidak adil bagiku. Cacian dan hinaan yang acap kudapatkan dari teman-temanku selalu bisa kutahan, tetapi mengapa yang satu ini tidak? Aku marah, sedih, serta kecewa. Parahnya lagi, aku tidak bisa melampiaskan perasaan campur aduk itu. Aku hanya bisa mengurung diri, dan tidak seorang pun berusaha menghiburku. Pada akhirnya, aku sendiri jugalah yang harus berdamai dengan rasa sakit itu. Setidaknya, begitulah perkiraanku.
Dua tahun kemudian, aku akhirnya sadar kalau luka itu belum kering. Rasa sakit itu masih sama perihnya, dan selama ini aku hanya berusaha menguburnya. Hari itu aku mengikuti UAN. Tidak terduga, guru yang menjadi pengawas di sekolahku adalah guru-guru yang menjadi penyebab aku berakhir di SMPLB. Seketika itu juga amarahku bangkit lagi. Terlebih saat mereka dengan tanpa rasa bersalah membicarakan aku tepat di depanku. Mungkin mereka lupa, penglihatanku bermasalah, tetapi tidak dengan pendengaranku? Ataukah mereka tidak tahu kalau tunanetra sepertiku juga bisa sakit hati? Alhasil, aku menjalani ujian hari itu dengan perasaan tersiksa.
Selesai ujian, aku menunggu Bapak menjemputku. Tak disangka, salah seorang dari guru yang kubenci itu menghampiriku. Ia menyerahkan dua buah pisang goreng padaku, dan aku pun menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi, menerima bukan berarti harus memakannya, kan? Tanpa pikir panjang, aku membanting ke tanah pisang yang sebenarnya menggugah selera itu tepat di hadapannya. Setelah itu, aku pun berlalu dengan perasaan sesal bercampur takut. Bagaimana jika dia mengejar lalu memukulku? Tentu saja yang kutakutkan tidak terjadi, tetapi tetap saja perasaanku tidak tenang.
Tiba di rumah, lagi-lagi aku melampiaskan semuanya dengan menangis. Aku tidak pernah punya keberanian untuk menceritakan kejadian itu pada Bapak. Biarlah semuanya kusimpan sendiri. Kini aku mengerti satu hal lagi, pembalasan dendam tidak akan melahirkan kepuasan.
Lepas sMP, aku memutuskan untuk tetap bersekolah di SLB. Kenangan masa lalu membuatkkku enggan mencoba masuk ke sekolah umum. Perlahan, aku pun menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup. Di rumah, aku lebih banyak menyendiri, dan malas berkumpul dengan keluarga. Tidak selalu seperti itu, kok! Ada juga saat-saat di mana aku menjadi diriku yang dulu, ceria dan banyak bicara. Namun, itu hanya ketika bersama orang-orang tertentu.
Sebenarnya,  menjadi siswa SLB tidak sepenuhnya mengecewakan, kok! ada juga sisi positifnya. Di SLB, aku bertemu dengan guru Bahasa Indonesia yang menyenangkan. Beliau tak pernah lelah memotivasiku. Lebih dari itu, guru tersebut membuatku semakin menyukai mata pelajaran tersebut. Selain itu, berkat bersekolah di SLB, aku pun bisa mengikuti Festival Lomba seni Siswa Nasional yang diselenggarakan di kota yang berbeda setiap tahunnya. Hal yang mustahil kualami jika tetap bersekolah di sekolah umum. Pada akhirnya, aku lulus dari SMALB tanpa banyak drama layaknya kisah anak SMA pada umumnya. Namun, jangan mengira hidupku sepi karena hal itu! Di sekolah kisahku datar-datar saja, tetapi di luar dari itu aku cukup bahagia. Selama berkurung diri di rumah, aku selalu asyik mendengarkan radio. Dari radio itu, aku akhirnya mengenal banyak teman yang meskipun tahu kekuranganku, tetap senang berteman denganku. Merekalah yang mengisi kesunyianku, menghadirkan warna di hidupku.
Setelah lulus SMA, aku pun berniat kuliah. Apalagi saat mengetahui sudah banyak tunanetra yang bisa kuliah, bahkan bekerja. Sayangnya, keinginan itu ditentang orang tuaku. Tindakan yang membuat hubunganku dengan keduanya kian renggang. Aku heran, dulu mereka sangat peduli dengan pendidikanku. Mengapa belakangan mereka seakan tidak acuh? Hampir setiap hari aku dan Mama bertengkar hanya karena keinginanku itu. Berbagai alasan mereka ajukan untuk membungkamku, salah satunya dengan ‘tidak ada biaya’. Alasan yang membuatku semakin nelangsa saja. Untuk saudara-saudaraku ada, mengapa giliran aku tidak ada?
Di tengah kekalutanku menghadapi hari-hari yang tidak menentu, aku mendengar kabar tentang adanya Panti Sosial tempat anak-anak tunanetra bisa belajar berbagai macam keterampilan. Aku pun menyampaikan hal tersebut kepada orang tuaku. Pikirku, kalau kuliah tidak bisa, belajar keterampilan juga tak masalah. Yang penting aku tidak berdiam diri di rumah, menunggu datangnya ajal yang entah bila. Sayangnya, keinginanku itu lagi-lagi ditolak. Tidak hanya itu, Mama bahkan mengataiku dengan cacian yang tidak bijaksana jika harus kuterangkan di sini. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan aku marah, sedih, kecewa, dan akhirnya lelah sendiri. Aku pun memilih pasrah, malah nyaris putus asa. Biar sudah! Mungkin hidupku harus begini.
biarkan semua mengalir sebagaimana mestinya. Biarkan Allah dengan segala rencananya. Aku tidak peduli lagi. Terserah saja mau seperti apa hidupku nanti. Masa bodoh dengan masa depan. Yang ada hanya hari ini, detik ini. Aku hanya perlu melewati saat ini. Besok? Entahlah. Aku mulai menarik diri dari pergaulan dengan teman-teman yang kukenal lewat radio. Aku juga berhenti mendengarkan radio yang mendadak tidak menarik lagi. Kuganti nomor ponselku, dan menutup akun facebook yang bisa menghubungkanku dengan mereka. Saat itu duniaku terasa suram. Kupikir, hanya sesama tunanetra yang bisa memahamiku. Bukankah kami senasib? Berbekal pemikiran itulah aku mulai mendekatkan diri dengan para tunanetra  yang kukenal sewaktu mengikuti seleksi dalam perlombaan di tingkat provinsi, juga yang mengikuti FLS2N. Alhasil, aku pun kembali ceria lagi. Setidaknya terlihat begitu. Hatiku, sih, tidak pernah benar-benar bahagia lagi! Selama itu, aku juga mulai menekuni hobi lamaku, yaitu menulis cerpen. Karyaku tidak bagus, tentu saja. Namun, itu tidak penting. Toh aku juga bukan hendak menjadi penulis. Aku hanya senang mewujudkan imajinasiku ke dalam cerita pendek. Aku tidak pernah membayangkan kalau beberapa tahun kemudian, kemampuanku yang pas-pasan itu ternyata bisa membuatku tidak sepenuhnya bergantung pada keuangan orang tuaku.
Lima tahun berlalu dengan cepat. Aku sudah mulai lupa dengan keinginanku untuk kuliah. Apalagi, salah satu cerpenku baru saja diterbitkan oleh Majalah Braille berskala nasional. Hasilnya pun lumayan. Cukup untuk menambah modalku berjualan pulsa. Ahya, sejak SMA aku memang berjualan pulsa. Modal awalnya berasal dari uang yang kuperoleh saat mengikuti lomba nyanyi. Dari situlah kuperoleh uang jajan sehari-hari. Soal hubungan dengan orang tuaku, selama lima tahun itu aku memang semakin jarang berakrab-akrab dengan mereka. Bicara sekadarnya saja. Namun, hari itu Mama tiba-tiba mengajak aku bicara serius. Lebih tidak disangka lagi, beliau memintaku untuk kuliah. Rasa tidak percaya seketika menyelimuti hatiku. Di sisi lain, aku juga bingung, antara harus menerima atau menolak. Akan tetapi, bukankah ini yang dulu kuinginkan? Hal inilah yang berkali-kali menjadi perdebatan kami. Namun, sekarang rasanya tidak lagi membuatku antusias. Di sisi lain, aku juga tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan. Aku tidak mau salah langkah, maka kuputuskan untuk meminta pendapat dari teman-temanku. Pada akhirnya, aku mengiyakan permintaan Mama itu. Meski keinginanku untuk kuliah tidak sebesar dulu, aku percaya inilah keputusan yang terbaik. Sebab, tak ada sesuatu yang terjadi kalau bukan atas kehendak Allah.
Kini, aku adalah mahasiswa semester akhir di universitas swasta yang ada di kotaku. Prodi yang kuambil adalah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Perjalananku hingga di titik ini penuh semak dan duri. Terlebih aku merupakan mahasiswa tunanetra pertama dan satu-satunya di kampus itu. Memang bukan hal yang mudah menghadapi orang-orang yang menganggap aku berbeda, bahkan aneh. Akan tetapi, sejauh ini aku bisa. Aku memang hanya orang biasa, tetapi aku yakin Allah tidak pernah membiarkanku sendiri. dan sebaik-baik kekuatan, adalah kekuatan dariNya. Aku tidak seperti kebanyakan mahasiswa yang hanya fokus untuk kuliah, karena sejak semester III aku harus membayar uang kuliah sendiri. Namun, aku tidak sedih karenanya. Justru aku bahagia bisa meringankan beban orang tuaku. Bapak hanya pensiunan guru. Penghasilannya hanya cukup untuk menanggung biaya kuliah adikku di perantauan, plus kehidupan kami sehari-hari. Prinsipku, jika tidak bisa membantu orang tuaku, setidaknya tidak perlu menambah berat beban mereka. Untuk itulah, sejak Februari 2020 lalu, aku pun memutuskan bekerja sebagai guru honor di salah satu sLB yang ada di kotaku. Hasilnya, jika digabungkan dengan honor menulisku, Alhamdulillah sudah cukup untuk menanggung uang semesterku.
Di hari-hari yang akan datang, medan yang akan kulalui di kehidupan ini tentunya akan semakin terjal, tetapi aku harus siap menghadapinya. Sepintas, hidup ini memang penuh kepahitan. Namun, di situlah letak seninya. Lagipula, setiap makhluk hidup mempunyai kesulitannya masing-masing. Lihat saja kupu-kupu yang cantik itu! Mereka tidak begitu saja terlahir indah, tetapi harus melalui proses metamorfosis yang tidak mudah. Demikian juga manusia. Caranya saja yang berbeda. Akan tetapi, aku percaya, segala kepahitan adalah proses metamorfosis bagi jiwa dan mental untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, arif, dan dewasa.    

Penulis: Ika Asrianti Puspitasari

Editor: Iin Saputri    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelas Menulis Puisi, Ajang Refleksi Imajinasi dan Kreativitas

Content Creator Bangga Berliterasi: Wujudkan Asa dan Peluang Berkarya

Info Kompetisi Narasi Disabilitas Dalam Rangka HDI dan Hari HAM Internasional 2024