Autobiografi Cinderella Junior
Namaku Vivi Intan Pangestuti. Di dalam keluarga, aku dipanggil Intan. Akan tetapi, mereka yang bukan keluarga memanggilku Vivi. Aku lahir di Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, 5 Juli 1999. Jadi, bisa dibilang bahwa aku berasal dari kabupaten tersebut.
Kemudian pada tahun 2000, orang tuaku merantau ke Kota Cilegon Banten. Mereka merantau karena ingin berdagang. Apalagi orang tua papaku juga sudah menjadi warga Cilegon sejak dahulu kala. Akhirnya, aku hanya menumpang lahir di Wonogiri. Jadi, selebihnya aku bertumbuh dan berkembang di tanah rantau.
Sejak TK sampai SMA, aku tidak nomaden. Aku tetap berdomisili di kota yang sama. Sekolah juga selalu mencari yang terdekat dan termurah. Namun, bukan berarti murahan, ya. Artinya, biaya sekolah tidak memakan berjuta-juta perbulan.
Begitupun ketika aku kuliah. Saat ini, aku sedang menempuh pendidikan tinggi, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aku kuliah di salah satu universitas negeri di provinsiku. Karena perguruan tinggi negeri, dana yang dikeluarkan pun cukup terjangkau. Ditambah lagi aku lolos jalur SNMPTN. Pendaftaran gratis, tidak ada tes-tes juga, lagi. Belum ujian nasional, tetapi sudah jadi mahasiswi. Asyik, bukan?
Selain merdeka karena tidak perlu mempersiapkan untuk tes masuk PTN, aku juga tidak terlalu membebani orang tua soal biaya. Sebab, aku bukan berasal dari keluarga ningrat. Papaku adalah seorang pedagang mi ayam dan bakso. Kemudian mama membantu proses penjualan tersebut. Namanya pedagang di pinggir jalan, penghasilan pun tidak tetap. Maka dari itu, SNMPTN adalah jalur untuk menjemput cita-citaku.
Aku tidak bisa membayangkan, jika saat itu ikut seleksi masuk PTN melalui tes tertulis. Seandainya lolos, itu masih mending. Namun, jika tidak? Sudah bayar mahal, setelah ujian nasional masih berkutat dengan soal, ternyata malah gagal. Kan, jadi tidak bisa menghayati masa liburan dengan maksimal.
Sekilas info, aku sebenarnya tunanetra, tetapi tidak sejak lahir. Aku mulai kehilangan penglihatan sejak usia delapan tahun. Itu juga tidak auto langsung gelap. Jadi, secara perlahan penglihatan itu mundur tanpa kabar. Karena selama tujuh tahun masih bisa memandang keindahan ciptaan Tuhan, ada salah satu tragedi masa kecil yang berkesan bagiku.
Saat libur semester kelas II SD, aku dan mama pergi ke Jakarta Selatan. Kami berkunjung ke rumah kontrakan nenek dan kakek yang berdagang di sana. Saat itu, aku sempat berkenalan dengan dua anak laki-laki. Berawal dari ketidaksengajaan bertemu di sekitar rumah kontrakan itu, kami akhirnya berteman.
Suatu hari, aku sedang duduk di saung. Di bawah saung itu terdapat saluran air yang cukup lebar dan isinya juga tidak sedikit. Karena kakiku menggantung di atas saluran air, akhirnya salah satu sandalku terjatuh. Tentunya aku sangat panik saat itu.
Aku lantas jalan terpincang-pincang menuju rumah karena kaki yang satu harus berjinjit. Awalnya aku ingin melapor ke penghuni rumah tentang kejadian itu. Akan tetapi, tiba-tiba salah satu anak laki-laki yang kukenal waktu itu memanggilku. Lalu dia berkata bahwa sandalku sudah diambil olehnya. Seketika aku merasa senang dan malu di waktu yang bersamaan.
Aku tidak tahu dia mengambil dengan cara apa. Namun, dia seolah menjadi pangeran yang menemukan sepatu kaca Cinderella yang hilang. Ya, meskipun dalam kejadian itu hanya sandal buluk yang jatuh ke saluran air, tetapi kebaikan dia masih kuingat sampai sekarang. Jadi, ternyata menjadi pahlawan itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti yang dia lakukan.
Karena di sana cuma sebatas mengisi waktu libur, aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia. Namun, masih di bulan dan tahun yang sama, ada sinetron Heart Series di SCTV. Pemerannya ada Yuki Kato, Irshadi Bagas, Esa Sigit, dan Ranty Maria. Ketika aku melihat Esa Sigit yang berperan sebagai Didit, sekilas wajahnya mirip dengan anak laki-laki itu. Perbedaan yang paling mencolok yakni penggunaan kacamata. Didit berkacamata, sedangkan dia tidak.
Aku pun baru sadar kenapa lebih menyukai Esa Sigit daripada pemeran anak laki-laki yang lainnya. Tampaknya karena ada aura si anak laki-laki itu, aku jadi menghalu sejak dini. Akan tetapi, aku rasa itu perasaan yang wajar, kok. Heart Series juga ceritanya tentang anak SD yang sudah mulai suka-sukaan. Artinya, kan, itu cerminan dari kehidupan anak-anak yang sebenarnya. Jadi, biarlah kenangan itu tersimpan dalam ingatan. Walau hanya sekilas, tetapi peristiwanya cukup mengesankan.
Penulis: Vivi Intan Pangestuti
Wow!
BalasHapusGood job! Sandalnya masih ada, gak sampai sekarang?good job! sandalnya masih ada nggak sampai sekarang?
BalasHapusWah, sayangnya sudah tidak ada, Kak. Tidak terpikir untuk disimpan sebagai benda bersejarah. 😂
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKita punya kesamaan, yaitu tunanetra sejak umur delapan tahun.
BalasHapus